Serpong (Pendis) - Direktorat Pendidikan Agama Islam menyelenggarakan kegiatan Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAI pada PTU (Angkatan 8) yang diselenggarakan di Hotel Soll Marina Serpong, 17 s/d. 19 Okober 2017. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkuat wawasan keagamaan untuk kalangan dosen Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum (PAI pada PTU), diantaranya dengan menghadirkan narasumber Habib Umar Al-Hafizh, pimpinan Majelis Dar al-Musthafa, Yaman.
Ulama dunia kelahiran Tarim, Yaman, 27 Mei 1963, menjelaskan tentang peran sentral dan tanggung jawab mulia dosen PAI dalam melakukan internalisasi nilai-nilai Islam dalam akal, kalbu, dan jiwa mahasiswa . Dengan internalisasi ini, para mahasiswa diharapkan dapat mengartikulasikan ajaran Islam dengan baik, yakni ajaran Islam yang mengedepankan keterbukaan, persaudaraan, dan kemaslahatan. Bukan ajaran Islam yang radikal.
Menurut Habib Umar, radikalisme terjadi akibat pemahaman yang tidak tepat terhadap ayat-ayat Alquran yang bernada tegas, keras, dan permusuhan kepada non-muslim. Pemahaman secara parsial terhadap ayat-ayat tersebut di antaranya disebabkan tidak melihat kesalinghubungan antar ayat (munasabat al-ayat), antar ayat dan sunnah, dan antar ayat dengan bagaimana Rasulullah SAW menerapkannya.
Dalam sesi tanya jawab, ulama yang bernama lengkap Al-Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafidh ini menjelaskan tentang bagaimana menyikapi perbedaan, termasuk dengan nonmuslim. Dengan orang kafir sekalipun, Alquran mengajarkan untuk mengedepankan kesabaran, kelembutan, dan penjelasan yang baik. Ia menjelaskan sejumlah contoh faktual berdasarkan sirah tentang bagaimana Nabi Muhammad SAW mengedepankan wajah Islam yang ramah dan damai. Ini bukan berarti Nabi tidak memahami ayat-ayat tentang ketegasan terhadap kekufuran, tetapi ini untuk menjelaskan bahwa sikap keras terhadap kaum kafir bukan ditujukan untuk pribadi mereka, melainkan ditujukan pada sikap mereka. Ini menjadi isyarat bahwa secara prinsip, Islam itu mengedepankan semangat persaudaraan dan bagaimana membangun harmoni. Menurutnya lebih lanjut, ayat-ayat yang bernuansa konflik harus difahami dalam bingkai kesadaran untuk menghilangkan kezhaliman dan kejahatan atas kemanusiaan.
Di akhir uraiannya, Habib Umar menjelaskan bahwa negara Islam tidak akan terwujud dengan revolusi, pemberontakan, atau aksi-aksi kekerasan. Namun, negara Islam hanya mungkin hadir ketika dalam diri masing-masing individu muslim memiliki kesadaran untuk tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Islam tidak dimunculkan dalam tataran simbol atau slogan, tetapi Islam harus menjadi elan vital untuk mencapai kemaslahatan bagi umat manusia. (swd/dod)
Bagikan: