Jakarta (Pendis) - Meski wacana moratorium Ujian Nasional (UN) urung direalisasikan karena Presiden Joko Widodo menegaskan kembali untuk melaksanakan UN di Tahun 2017, namun ada kebijakan baru dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang cukup memberikan angin segar pada beberapa mata pelajaran seperti Pendidikan Agama, PPKN, IPS dan lainnya (tergantung jenjang) dengan akan dilaksanakannya Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).
Dikeluarkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pemerintah dan Penilaian Hasil Belajar oleh Satuan Pendidikan bisa dikatakan sebuah perhatian lebih kepada mata pelajaran di atas yang selama ini masuk dalam prosedur Ujian Sekolah (US). Dalam Pasal 5 Permendikbud No. 3 Tahun 2017 disebutkan bahwa setiap peserta didik pada jalur formal wajib mengikuti UN, USBN dan US paling sedikit satu kali. Jadi keikutsertaan dalam UN, USBN dan US menjadi syarat kelulusan.
Untuk Pendidikan Agama khususnya Pendidikan Agama Islam (PAI) sendiri sebenarnya pelaksanaan USBN bukanlah sesuatu yang baru karena Direktorat Pendidikan Agama Islam (DITPAI) Kementerian Agama RI sudah memulainya sejak Tahun pelajaran 2008/2009 atau 8 Tahun silam yang awalnya bernama Ujian Sekolah Standar Nasional (USSN). Meskipun saat itu hanya diikuti oleh sekolah-sekolah di 44 kabupaten/kota di Indonesia yang menyatakan siap mensupport terselenggaranya Ujian Sekolah dengan label tambahan "Standar Nasional", namun terobosan DITPAI tersebut merupakan langkah penting untuk meningkatkan mutu PAI sebagai mata pelajaran wajib yang diikuti peserta didik (beragama Islam) meskipun hanya 2 jam pelajaran setiap minggunya. Tujuan dari USSN yang kemudian berganti nama menjadi USBN, digariskan dalam pedoman pelaksanaannya meliputi 3 hal, yakni menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran PAI, meningkatkan mutu penilaian PAI pada satuan pendidikan dan mengevaluasi kinerja satuan pendidikan berdasar hasil penilaian PAI.
Menurut Undang-undang Sisdiknas pada Pasal 36 ayat 1, dikatakan "pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional." Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 Pasal 3 ayat 2 dinyatakan "Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama". Dan menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 16 Tahun 2010 Pasal 26 ayat 1, dikatakan "penilaian hasil belajar pendidikan agama meliputi penilaian hasil oleh pendidik, satuan pendidikan dan pemerintah." Jadi bisa dikatakan USBN PAI adalah salah satu bentuk tanggung jawab sekaligus amanah untuk melaksanakan ketiga landasan yuridis tersebut.
Jalan Panjang USBN PAI
Penyelenggaraan USBN PAI berlandaskan SK Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI bisa dikatakan menemui banyak lika-liku dalam implementasinya di lapangan. Setelah 3 Tahun pelaksanaan USBN sejak Tahun Pelajaran 2008/2009 menurut laporan evaluasi Direktorat PAI Tahun 2011, ternyata angka partisipasi sekolah yang mengikuti USBN PAI masih sangat rendah hanya berkisar 5%. Artinya dari sekitar 200 ribu sekolah umum di Indonesia mulai dari SD hingga SMA/SMK, hanya 10 ribu sekolah yang menyatakan mampu menyelenggarakan USBN karena berbagai pertimbangan. Dan pada Tahun-Tahun berikutnya ibaratnya pelaksanaan USBN PAI layaknya air mengalir yang tergantung bagaimana wadahnya. Ada daerah yang siap melaksanakan dan ada yang tidak karena kebijakan USBN PAI masih dipandang belum menjadi kewajiban sekolah. Dari sekian provinsi di Indonesia yang tergolong konsisten menyelenggarakan USBN PAI sekaligus melaporkan hasilnya adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Ada 5 hal yang menjadi masalah atau kendala pokok pelaksanaan USBN PAI di daerah. Pertama payung hukum, maksudnya USBN PAI belum memiliki legitimasi hukum yang kuat, kedua kurangnya sosialisasi di daerah, ketiga lemahnya koordinasi antara Kemenag dan Kemendikbud di daerah, keempat minimnya anggaran USBN, dan kelima lemahnya kemampuan SDM daerah dalam hal penyusunan 75% soal yang menjadi wewenangnya. Kelima hal ini hampir menjadi alasan umum dan klasik mengapa akhirnya di beberapa daerah USBN PAI belum bisa diselenggarakan.
Payung hukum sebuah kebijakan amat mempengaruhi kepatuhan pelaksanaannya. Menurut Edward III dalam teori implementasi, suatu kebijakan akan efektif jika memenuhi 4 faktor utama yakni komunikasi, sumber daya, disposisi (kemauan untuk melaksanakan dengan sungguh-sungguh) dan struktur birokrasi. Banyak kalangan yang menganggap USBN PAI bukan keharusan untuk dilaksanakan karena perintah tersebut masih sebatas taraf SK Dirjen. Padahal yang diinginkan sebagian besar pihak, USBN itu bisa setara dengan UN yang ditanda tangani oleh Menteri (Mendikbud dan Menag dalam bentuk SK Bersama) yang tentunya berdampak lebih mengikat. Di Provinsi DIY berdasar penelitian ada 17% sekolah-sekolah dibawah satu yayasan Islam tapi justru mengajukan surat resmi untuk tidak mengikuti USBN PAI dengan beberapa alasan seperti mereka memiliki perangkat kurikulum PAI sendiri yang bobotnya lebih banyak dibanding kurikulum PAI nasional, USBN lebih cocok untuk siswa-siswa di madrasah, juga kekhawatiran terjadi kekhilafiyahan (perbedaan) dalam memahami soal-soal fiqih yang bisa membuat kerancuan berpikir siswa. Meskipun sudah diberi tanggapan persuasif namun pihak yayasan akhirnya hanya menekankan jawaban balasan bahwa USBN bersifat sunah, boleh dilaksanakan boleh tidak. Dengan adanya lampu hijau dari Mendikbud di Tahun 2017 ini, semoga menjadi angin segar bagi harapan terselenggaranya USBN PAI di seluruh Indonesia tanpa banyak alasan dan pertimbangan lagi.
Sosialisasi kebijakan masih menurut teori Edward III harus meliputi dimensi transformasi, disampaikan kepada semua pihak baik pelaksana maupun yang terkait langsung dan tidak langsung, kedua dimensi kejelasan, harus jelas arah dan tujuan yang ingin dicapai agar dipahami bersama, ketiga dimensi konsistensi artinya tetap komitmen pelaksanaanya dan terpantau dengan baik. Sosialisasi USBN PAI ternyata bukan hanya di tingkat internal yakni pihak sekolah dan panitia penyeleggara tapi juga kalangan eksternal seperti tokoh agama karena memang yang berkaitan dengan agama perlu penyikapan secara hati-hati.
Adapun koordinasi yang paling penting adalah kerjasama antara Kemenag dengan Dinas Pendidikan di daerah. Seperti diketahui penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah umum memang berada dibawah wewenang Kemendikbud melalui Dinas Pendidikan di daerah, ada pun Kemenag berwenang pada pembinaan Guru PAI (GPAI) dan mata pelajaran PAI yang diampunya berdasar PP Nomor 55 Tahun 2007 di atas, sehingga jika keduanya tidak bisa saling bekerja sama dan berkoordinasi maka sulit kiranya USBN digulirkan dengan lancar. Dan contoh dari hasil pengamatan di Provinsi DIY membuktikan bahwa proses terselenggaranya USBN terbilang sukses karena Dinas Pendidikan Provinsi DIY sangat mensupport pihak Penyelenggara USBN PAI tingkat Provinsi yakni Kanwil Kemenag DIY mulai dari penentuan jadwal, pendataan siswa hingga pendistribusian bahan ujian.
Adapun kendala keempat terkait anggaran memang bukan hal yang remeh. Meski setiap Tahun pihak sekolah mengalokasikan anggaran US bukan berarti serta merta dengan mudah mengalihkannya ke USBN apalagi jika sudah terpatri pandangan bahwa USBN PAI itu hajatnya Kemenag. Siapa punya hajat, dia lah yang bertanggung jawab. Di sinilah diperlukan komitmen kuat termasuk bantuan dari pihak pemerintah daerah jika dapat. Menengok awal mula pelaksanaan USBN PAI justru ditawarkan kepada kepala-kepala daerah yang mendapat apresiasi dari pemerintah dalam hal kepedulian terhadap pendidikan agama di daerahnya. Mereka `ditantang`, dan kemudian menawarkan diri siap sebagai daerah penyelenggara USBN PAI di sekolah-sekolahnya dengan dibiayai oleh pemerintah daerah. Menarik misalnya mencermati perkembangan USBN PAI di Provinsi DIY. Tahun 2010, kebijakan USBN PAI hanya disambut oleh Pemda Kabupaten Bantul. Pada Tahun 2011 kemudian, seluruh kabupaten dan kota di Provinsi DIY menyelenggarakan USBN PAI dibawah pengelolaan termasuk anggaran Panitia USBN Provinsi, dan di Tahun 2012 dan 2013 DIY tidak hanya menyelenggarakan USBN PAI tapi juga USBN Pendidikan Agama lain dengan dibiayai anggaran USBN PAI. Sekali lagi jika USBN benar-benar menjadi komitmen Kemendikbud di Tahun 2017, maka persoalan anggaran pastinya tidak lagi menjadi kendala karena sudah dialokasikan secara jelas.
Terakhir terkait lemahnya SDM dalam hal ini kemampuan guru PAI dalam menyusun soal ini juga menjadi persoalan tak kalah urgen karena di situlah letak kualitas materi USBN itu sendiri. Perlu menjadi pemahaman bersama yang dimaksud USBN sejauh ini teknisnya adalah kisi-kisi soal dibuat oleh Kementerian Agama (pusat) yang dipantau dan disahkan oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), kemudian pihak pusat juga berkontribusi membuat soal dari kisi-kisi tersebut sebanyak 25%. Sedangkan 75% soal merupakan kontribusi guru-guru PAI di daerah yang sudah dipilih atau diseleksi sebagai tim penyusun soal oleh Panitia USBN Provinsi atau Kabupaten/Kota. Ini berbeda dengan UN yang kisi-kisi maupun materi soal menjadi wewenang pusat dalam hal ini Kemendikbud meskipun dalam penyusunannya tetap melibatkan guru. Bayangkan jika yang menyusun 75% soal USBN bukan SDM daerah yang bermutu dalam menafsirkan kisi-kisi maupun membuat soal?. Ini yang menjadi PR bersama. Berdasar pengalaman di lapangan, USBN PAI ternyata memberi dampak positif pada kinerja GPAI di Provinsi DIY. Misalnya para guru yang tergabung dalam Kelompok Kerja Guru (KKG) maupun Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) menjadi lebih aktif dan kreatif dalam pembinaan membuat soal-soal PAI karena mereka juga digiatkan dalam kegiatan Try Out baik di sekolah, tingkat kabupaten maupun Try Out yang diselenggarakan Panitia Provinsi.
Payung Harapan USBN PAI Ke Depan
Berdasarkan Rapat Koordinasi bersama antara Kemendikbud, Kemenag dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Direktur PAI melalui surat edarannya tertanggal 27 Januari 2017 menyampaikan poin-poin penting terkait pelaksanaan USBN PAI Tahun ini yang akan dilaksanakan di seluruh provinsi di Indonesia. Pertama, bahwa penyusunan kisi-kisi dan master soal PAI tetap menjadi wewenang dan tanggung jawab Kementerian Agama. DITPAI juga menyusun soal inti atau anchor items sebanyak 25% dari jumlah soal. Ketiga, Kanwil Kemenag Provinsi bertanggungjawab menyusun 75% soal dengan memberdayakan GPAI dari KKG dan MGMP PAI. Yang terbaru, untuk materi soal USBN PAI SD, SMP, SMA/SMK terdiri atas 2 jenis yakni 40 soal pilihan ganda (PG) dan 5 soal essai. Adapun penggandaan soal USBN PAI dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota setempat melalui MKKS. Terakhir mengenai jadwal penyelenggaraan USBN PAI akan ditetapkan bersama antara Kantor Kemenag Kab/Kota dengan Dinas Pendidikan.
Sampai Februari 2017 Direktorat PAI sudah mengirimkan kisi-kisi USBN PAI ke Kanwil Kemenag Provinsi melalui bidang PAI/PAKIS/Pendis di seluruh Indonesia dengan sistem password yang hanya diketahui oleh pihak Pokja USBN PAI di Direktorat PAI. Dari bidang PAIS/PAKIS/Pendis di Provinsi, kisi-kisi tersebut baru diserahkan kepada Tim Penyusun Soal USBN terseleksi di Provinsi untuk dibuat master soalnya. Harapannya, pelaksanaan USBN PAI Tahun Pelajaran 2016/2017 tetap berjalan dengan lancar dan aman terkendali. Meskipun mungkin saja untuk daerah tertentu merupakan pengalaman perdana. Dengan adanya kebijakan baru ini, semoga payung terkembang lebih lebar untuk penyelenggaran USBN PAI yang lebih baik dan profesional.
(Sih Wikaningtyas, S.Si, M.Pd, JFU Pengembang Kapasitas Pendidik Subdit PAI SD, Direktorat Pendidikan Agama Islam)
Bagikan: