Serpong (Pendis) - "Posisi USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) Pendidikan Agama Islam ini merupakan langkah solutif dalam menanggapi pro dan kontranya apakah mata pelajaran PAI dijadikan mata pelajaran yang di-UN-kan (diujiannasionalkan)," demikian papar Imam Safei, Direktur Pendidikan Agama Islam, dalam pembukaan kegiatan "Koordinasi Penyelenggaraan USBN PAI" yang diselenggarakan pada tanggal 14-16 Maret 2017 di Hotel Sol Marina, Serpong dan dihadiri oleh seluruh pejabat di lingkungan Direktorat Pendidikan Agama Islam dan Kepala Seksi Pakis dari seluruh propinsi se-Indonesia.
Mata pelajaran PAI dalam konteks UN memicu perdebatan yang cukup pelik. Pada satu pihak dinyatakan mata pelajaran PAI dalam UN tidak tepat dilakukan. Pasalnya, mata pelajaan PAI ini merupakan mata pelajaran yang tidak hanya memuat aspek kognitif semata, tetapi juga keyakinan, afektif, dan psikomotorik yang membutuhkan alat ukur yang tidak sederhana. Instrumen UN tidak dapat mewakili aspek-aspek mata pelajaran UN itu. Namun, di pihak lain, jika mata pelajaran PAI tidak dilakukan evaluasi atau penilaian maka akan berimplikasi pada lemahnya perhatian siswa untuk belajar PAI sehingga posisinya dikhawatirkan akan diabaikan. Untuk itu, menempatkan mata pelajaran PAI pada konteks USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional).
Pejabat yang sekaligus merangkap sebagai Plt. Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren itu lebih lanjut menyatakan "Ada sejumlah problematika yang terkait dengan PAI, baik yang menyangkut guru PAI dan hal-hal yang melekat dengannya seperti serfitikasi, inpassing, dan lain-lain maupun tentang pengawas PAI."
Sejumlah problematika mendasar, misalnya persoalan guru PAI itu seharusnya dikelola oleh siapa? Apakah Kemenag, Kemendikbud, atau Pemerintah Daerah? Ini juga masih cukup problematis. Jika merunut PP 55/2007, Pendidikan Agama menjadi otoritas Kemenag. Akan tetapi, dalam PP itu memungkinkan Pemerintah Daerah untuk mengangkat guru PAI. Demikian juga yang terkait dengan persoalan lainnya yang muncul seperti sertifikasi guru, inpassing, tambahan penghasilan, dan lain-lain.
Demikian juga pada aspek kebutuhan guru dan pengawas PAI. "Berdasarkan data EMIS, saat ini kita kekurangan guru PAI sekitar 21 ribu. Untuk menutupi kekurangan itu, diperlukan formasi pengangkatan dan mekanisme pembiayaan yang harus dapat diantisipasi, termasuk kontribusi pendanaan dari Pemerintah Daerah". Demikian juga yang terkait dengan pengawas PAI. "Saat ini kita kekurangan pengawas sekitar 6 ribu orang. Namun, sudah banyak pengajuan dari guru PAI untuk menjadi pengawas. Jika pengajuan ini diamini tentu akan menimbulkan masalah baru, yakni semakin bertambahnya kekurangan jumlah guru PAI itu".
Beberapa problematika di atas, papar Imam Safei, diharapkan semua stakeholders baik di Direktorat PAI maupun pejabat di wilayah dan daerah dapat berkontribusi baik pemikiran, kebijakan serta langkah-langkah kebijakan yang perlu kita ambil bersama. Tentu semua itu dapat dipenuhi dengan catatan kita harus dapat membangun kerjasama yang maksimal. "Persoalan pendataan, problematika guru dan pengawas PAI, tunjangan sertifikasi dan lainnya diharapkan dapat kita lakukan langkah penyelesaian secara konkret di tahun 2017 ini. Untuk itu, mumpung di awal tahun anggaran ini diharapkan dapat mencermati alokasi anggaran yang ada guna menyelesaikan sejumlah problem tersebut," harap Direktur PAI. (swd/dod)
Bagikan: