Jakarta (Pendis) --- Sebanyak 7.761 hadits diriwayatkan oleh Sahabat Perempuan dalam kitab hadits. Jumlah itu setidaknya dapat memberikan rujukan bagi masyarakat muslim bahwa keterlibatan perempuan dalam ruang publik dapat menyelesaikan persoalan-persoalan kemasyarakatan yang selama ini dianggap masih tabu.
Jumlah hadits yang diriwatkan oleh sahabat perempuan diungkap oleh dosen Sekolah Tinggi Agama Islam (STAISPA) Yogyakarta Zunly Nadia, saat mempresentasikan makalah mengenai “Sahabat Perempuan dan Periwayatan Hadits; Kajian atas Subyektifitas Perempuan dalam meriwayatkan Hadits”. Makalah dipersentasikan dalam Tadarus Litapdimas seri ke-21 yang mengangkat tema "Menguak Teks, Tradisi, dan Otoritas Keilmuan" digelar secara virtual pada Selasa, 22/9/2020.
Dikatakan Zunly, ada lima kategori yang dipilah dalam subyektifitas sahabat perempuan dalam periwayatan hadits, yakni peran dan ideologi politik, aktifitas, profesi, rumah tangga Nabi Saw, dan hadits misoginis.
“Upaya untuk mengembalikan posisi perempuan bukan dengan membatasi peran mereka di ruang pubilik, tetapi justru memberi kesempatan, keamanan, kenyamanan di ruang publik seperti para perawi Sahabat Perempuan,” terangnya.
“Memposisikan perempuan di publik bukan sebagai objek, tetapi sebagai subyek, peran perempuan secara sosial dan intelektual yang bisa memberikan kontribusi nyata,” tegasnya dengan menyebut sumber primer dari kitab hadits-hadits Thabaqat I-VII.
Berdasarkan data yang ada, Zunly menggaris bawahi, bahwa perawi hadits perempuan itu terbanyak pada masa Nabi Muhammad SAW. Perempuan perawi hadits atau intelektual publik semakin sedikit pasca era Nabi Muhammad SAW.
“Di antara nama-nama sahabat perempuan itu Aisyah bint Abu Bakar, Hindun bint Abi Umayah, Asma' bint Abu Bakar, Hafsah bint Umar, Nusaibah nint Ka'ab, dan Fathihah bint Abi Thalib,” jelas Zunly.
Selain Zunly, ada panelis lain yang presentasi makalah dalam Tadarus Litapdimas seri ke-21, yaitu Ade Fakih Kurniawan dari UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, yang mengangkat judul Cultural Negotiation, Authority, and Discursive Tradition: The Wawacan Seh Ritual in Banten. Sedangkan Awal Muqsith dari UIN Alauddin Makassar mengangkat judul “Konsep Bernegara Masyarakat Bugis dalam Lontara Latoa: Tinjauan Filsafat Politik Islam”.
Sebagai pembahas, Direktur Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Asep Saefuddin Jahar, mengapresiasi tiga karya disertasi yang dipresentasikan yang menurutnya sangat menarik baik dari segi kajian teks maupun konteksnya.
"Ketiganya, jika dibuatkan level itu sudah sejajar dg kajian disertasi di universitas Barat atau Eropa," ungkap Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah.
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI, Suyitno, mengatakan bahwa karya ilmiah dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, seperti disertasi, selama ini jarang dikenal publik. Menurutnya, Sebagian besar disertasi hanya bermanfaat untuk penulis dan sebagian kecil akademisi yang hadir saat promosinya saja, padahal tidak sedikit kajian keislaman di PTKI melalui disertasi dapat dimanfaatkan masyarakat juga.
“Hasil disertasi atau riset harus memiliki dua fungsi yaitu menjawab persoalan akademik yang ditelitinya dan dapat bermanfaat, memberi solusi bagi masyarakat. Salah satu kemanfaatan itu melalui diseminasi hasil riset disertasi di lingkungan PTKI ," ujar Suyitno.
Diskusi berjalan selama kurang lebih dua jam secara online, dipandu oleh Kasi Penelitian dan Pengelolaan HKI, Mahrus. Antusiasme peserta diskusi luar biasa, hingga berakhir acara yang ditutup oleh Dr. Suwendi, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat PTKI.
(MEM/MY)
Bagikan: