Surabaya (Pendis) – Fikih adalah sesuatu yang melekat dalam kehidupan muslim. Pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang dilaksanakan di Surabaya ini pun mengangkat tema ”Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace” (Merekontekstualisasi Fikih untuk Kesetaraan Kemanusiaan dan Mempertahankan Perdamaian).
“Fikih memiliki sifat yang beragam dan dinamis, oleh karena itu negara harus tetap menjadi netral terhadap doktrin dan pendapat dalam agama. Tentu saja ketika negara memaksakan paham fikih tertentu, berarti mendiskriminasi dan mengesampingkan paham lainnya” terang Naim.
Seorang professor yang bernama lengkap Abdullahi Ahmed an Naim dari Sudan ini menerangkan Hukum Syari’ah dan Fikih pada Dunia Modern. Ia bersama dengan Yahya Cholil Staquf (Ketua Umum PBNU) dan Siti Ruhani Dzuhayatin (Guru Besar di UIN Sunan Kalijaga) mengisi Pleno Sesi 1 pada Rabu (5/3/2023) di GOR UIN Sunan Ampel Surabaya.
Naim melanjutkan bahwa setiap kelompok agama (i.e NU, Muhammadiyah, PERSIS, MUI, dll) harus mendapatkan kebebasan untuk mencari dan menentukan fikihnya masing-masing tanpa interverensi dari pemerintah.
“Nah, pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Agama berfungsi untuk mengakomodir pandangan-pandangan agama dan memastikan bahwa perbedaan-perbedaan ini dihormati dengan adanya undang-undang” jelas Naim.
Indonesia sendiri dipandang telah menjadi model untuk negara yang mengakomodir negosiasi perbedaan antar Syari’ah pada era modern ini. Akan tetapi masih banyak masyarakat muslim yang kesulitan dalam melakukan hal yang sama, terlebih masyarakat yang menghadapi koersi yang sengit untuk mendapatkan hak ini.
Sebelumnya, Siti Ruhani Dzuhayatin menjelaskan syari’ah itu sendiri di dunia muslim. “Syari’ah sendiri adalah ajaran agama Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah yang tidak dapat diganggu gugat oleh umat islam itu sendiri” jelas Siti.
Ia menjelaskan bahwa Syari’ah digunakan selaras dengan fikih dengan dasar perintah dan ajaran mana yang telah diwahyukan dalam Al-Qur’an yang terdiri dari ajaran umum yang perlu diinterpretasikan dan dielaborasikan dengan tujuan agar muslim dapat mengamalkannya sesuai dengan perintah-NYA.
“Yang paling berwenang untuk interpretasi adalah Rasulullah yang termanifestasi pada Sunnah – sumber kedua dalam syari’ah setelah Al-Qur’an. Kemudian fikih sendiri adalah hasil dari Ijtihad yang dilakukan oleh para Mujtahid” Siti menerangkan.
Ia memungkas paparannya dengan menjelaskan perkembangan Fikih, Hukum Syariah/Qonun yaitu Sistem Legal Formal yang setara dengan otoritas dari pemerintah yang dijelaskan oleh Abdullahi an Naim.
Tags:
AICIS 2023Bagikan: