Manado (Pendis) - Indonesia memiliki lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia yang berpotensi menjadi pusat peradaban Islam. Islam yang dikembangkan di Indonesia adalah Islam aswaja yang moderat (wasatiyah).
Pernyataan itu disampaikan Ruchman Basori Kasi Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama saat menjadi nara sumber Seminar Peran Madrasah, Pondok Pesantren dan PTKI dalam Menangkal Radikalisme pada Kamis (27/12) di Auditorium IAIN Manado.
Ruchman memaparkan, Indonesia memiliki lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia, jika di bandingkan dengan negara muslim lainnya. Kita memiliki 58 PTKIN dan 675 PTKIS, 75.000 madrasah dan 29.000 pondok pesantren dengan 4 juta santri. Kita juga memiliki 84.000 Madrasah Diniyah Takmiliyah dengan 6 juta santri.
"Ini potensi luar biasa untuk melahirkan generasi yang berpaham moderat dan menjadi kekuatan untuk mengcounter paham keagamaan yang radikal dan intoleran," kata Ruchman.
Dihadapan 400 mahasiswa Ruchman memaparkan data-data riset tentang tingginya angka radikalisme dan intoleransi di Indonesia baik yang menyasar kalangan pelajar, mahasiswa dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Riset BNPT pada April 2017 menemukan gejala radikalisme sudah menyebar di kalangan mahasiswa, mencapai 39% tertarik untuk masuk ke organisasi radikal (mengganti ideologi negara).
Alvara Riset Institut menemukan mahasiswa yang setuju dengan negara Islam perlu diperjuangkan untuk penerapan Islam secara kaffah mencapai 23.5%, berbanding lurus dengan mahasiswa yang setuju dengan siap berjihad untuk tegaknya khilafah 23.4%. Mahasiswa yang setuju khilafah sebagai bentuk pemerintahan yang ideal di banding NKRI mencapai 17,8%.
Nasrudin Yusuf Sekretaris Umum MUI Sulawesi Tengah mengatakan umumnya kelompok radikal agama dapat dicirikan oleh beberapa karakter, yaitu mengklaim kebenaran tunggal, mengutamakan ibadah secara penampilan dan jihadis, menggunakan cara-cara kekerasan, mudah mengkafirkan orang lain, tertutup dengan masyarakat, dan apolitik.
Mengakhiri paparannya Ruchman mengajak mahasiswa untuk belajar agama dengan benar melalui sumber yang otoritatif dan metode yang tepat. Selain itu menjadi mahasiswa yang cerdas dan kritis (critical thinking) atas pelbagai informasi yang masuk.
"Mahasiswa harus menjadi warga medsos yang sehat dan harus berani melakukan counter narasi dan ideologi melawan intoleransi dan radikalisme," tandas Ruchman.
Kegiatan diikuti oleh kurang lebih 400 orang mahasiswa, perwakilan pondok pesantren dan madrasah serta mahasiswa dari kampus-kampus di Sulawesi Utara. Hadir sebagai nara sumber Nasrudin Yusuf Sekum MUI Sulawesi Utara, Yosep AJI Sulut, Evra Willy Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Kerjasama dan Alumni dan Ruchman Basori dari Kementerian Agama RI. (RB/dod)
Bagikan: