Depok (Kemenag) — Dalam peluncuran Gerakan Penanaman Satu Juta Pohon Matoa dan peletakan batu pertama pembangunan Pesantren Istiqlal Internasional Indonesia (PIII) di kawasan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, Senin (22/4/2025), Nasaruddin Umar, Menteri Agama RI memperkenalkan satu narasi besar yang kini menjadi bagian penting dari visi Kementerian Agama: ekotheologi.
Bagi Nasaruddin, ekotheologi bukan sekadar istilah baru, melainkan panggilan moral dan spiritual untuk menyadarkan umat bahwa alam bukan objek eksploitasi, tetapi mitra suci dalam kehidupan.
“Kita terlalu maskulin dalam memperlakukan alam. Padahal Tuhan kita Maha Penyayang, Nabi kita lembut, dan kitab suci kita penuh cinta,” ujarnya di hadapan para tokoh dan delegasi internasional.
Ia menilai bahwa selama ini pendekatan teologis umat seringkali bersifat eksploitatif dan dominatif terhadap alam. Padahal dalam khazanah Islam, terdapat kekayaan spiritual yang justru mengedepankan kelembutan, keseimbangan, dan kasih sayang terhadap seluruh ciptaan.
“Asmaul Husna, 80 persen adalah nama-nama feminin. Tapi umat-Nya justru terjebak pada sikap supermaskulin terhadap lingkungan. Ini ironi besar yang harus kita ubah,” tegasnya.
Nasaruddin menjelaskan bahwa ekotheologi bukan hanya gagasan wacana, melainkan sudah mulai diterapkan dalam bentuk nyata. Salah satunya melalui gerakan penanaman pohon di lingkungan pesantren dan madrasah, serta pembangunan kawasan pesantren ramah lingkungan.
“Ketika pesantren tidak hanya menjadi pusat ilmu dan spiritualitas, tetapi juga pusat pelestarian lingkungan, di sanalah ekotheologi bekerja nyata,” paparnya.
Program-program tersebut menjadi bentuk integrasi tiga elemen kunci: iman, ilmu, dan lingkungan. Inilah konsep pendidikan Islam masa depan yang tidak hanya menghasilkan ulama, tetapi juga pelindung bumi dan penjaga keseimbangan semesta.
Prof. Nasaruddin mengajak para akademisi, pendidik, dan pemuka agama untuk mereformulasi paradigma keislaman dengan lebih ekologis. Menurutnya, inilah saatnya Islam mengambil peran terdepan dalam menjawab krisis lingkungan global—tidak sekadar dari sisi ilmiah, tetapi juga spiritual dan teologis.
“Krisis iklim bukan hanya masalah ilmiah, tapi juga masalah teologi. Alam rusak karena cara kita memandangnya. Maka teologi kita pun harus dibenahi,” ungkapnya.
Gagasan ekotheologi ini juga sejalan dengan posisi Indonesia yang terus mengedepankan Islam wasathiyah (moderat) di pentas dunia. Lewat pendekatan ekotheologis, Indonesia bisa menjadi contoh nyata tentang bagaimana ajaran agama bersinergi dengan ilmu pengetahuan dan kepedulian terhadap keberlanjutan lingkungan.
Bagikan: