Surabaya (Pendis) - Mantan Aktivis Mahasiswa Era 90-an, Sastro Ngatawi mengatakan mahasiswa adalah bagian dari kaum cendekiawan/intelektual yang menjadi tulang punggung suatu bangsa. Karenanya menjadi sumber inspirasi sekaligus kreator dan inovator peradaban yang menentukan eksistensi dan martabat suatu bangsa.
Hal itu dikatakan Sastro Ngatawi saat menggembleng 77 Presiden Mahasiswa pada kegiatan Temu Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) Perguruan Tinggi Kegamaan Islam (PTKI) Se-Indonesia, Minggu (30/10) di Surabaya.
Lebih lanjut dikatakan Dosen Pascasarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta ini, jadi diri mahasiswa sebagai pemuda dan sekaligus cendekiawan/intelektual menjadikan mahasiswa berada di posisi elit dalam strata sosial sehingga memiliki prevalese yang tinggi dibanding kelompok lain. "Dengan posisi dan privalese itu mahasiswa memiliki tanggung jawab dan peran ganda yang harus dijalankan; sebagai motor dan dinamisator perubahan (peran pemuda) dan peran sebagai inovator dan invotar peradaban (peran cendekiawan)," katanya.
Sastro mensinyalir pasca Soeharto lengser, gerakan mahasiswa mengalami disorientasi, terjadi kesenjangan imaginasi sosial. Mereka masih terbelenggu dengan paradigma masa lalu dan silau oleh keberhasilan para generasi sebelumnya sedangkan keadaan telah berubah.
"Gerakan mahasiswa pasca Soeharto tidak memiliki basis teoritik dan akar konspsional yang jelas. Tidak mampu membaca dan merumuskan situasi secara detail dan mendalam," tegas Sastro Ngawi.
Tidak bisa standing position yang jelas dalam pertarungan dan gerak sejarah yang sedang terjadi. Akibatnya kata seniman yang selalu mengenakan blangkon ini, gerakan mahasiswa menjadi sangat fragile (mudah pecah) karena terjebak dalam kepentingan sempit dana sesaat, tidak ada commond platform yang jelas, kerap reaksioner dan pragmatis.
Di hadapan aktivis mahasiswa era milenial ini, Sasro menyarankan agar gerakan mahasiswa memiliki fungsi yang efektif dan akurat, perlu melihat, mencermati dan menganalisis secara serius berbagai fenomena global yang sedang terjadi.
"Kenali berbagai aktor yang sedang bermain dalam ranah sosial politik dan budaya di negeri ini. Ini penting untuk menentukan standing position, merumuskan strategi, metode dan pola gerakan," pesannya.
M. Aziz Hakim Aktivis Mahasiswa Pasca Reformasi memandang di tengah kegamangan orientasi gerakan, gerakan mahasiswa harus kembali ke "khittah". Proses kembali itu harus dilalui dengan memperkuat basis keilmuan/intelektualitas, memperkuat basis pengorganisasian, membangun jejaring, dan eksperimentasi gerakan.
Aziz menerangkan memperkuat basis intelektualitas dimaknai dengan memperdalam kemampuan dalam memahami filosofi, filsafat, dan teori-teori perubahan sosial. Sehingga, isu dan gagasan yang diusung oleh gerakan mahasiswa tidak kering dan dangkal, tetapi memiliki basis argumentasi yang kuat.
"Memperkuat basis pengorganisasian diartikan dengan memperdalam kemampuan mengorganisir organ, baik internal maupun eksternal," kata Dosen Tata Negara IAIN Tuluangagung ini.
Mahasiswa lanjut Aziz Hakim juga harus mampu membangun jejaring gerakan sosial sambil melakukan eksperimentasi gerakan, yatu berupaya terus bergerak dengan beragam kreasi yang didasarkan pada situasi yang berkembang.
Temu DEMA PTKI se-Indonesia dilaksanakan pada tanggal 29 s/d 31 Oktober 2017 di Surabaya. Narasumber lain yang tampil memberikan pencerahan adalah Syamsul Rijal Ketua Forum Wakil Rektor/Wakil Ketua Bidang Kemahasiswaan, Waryono Sekjen Forum WR/WK Kemahasiswaan, Syafriansyah Kasubdit Sarpras dan Kemahasiswaan dan Ruchman Basori Kasi Kemahasiswaan Ditjen Pendidikan Islam. (viva_tnu/dod)
Bagikan: