Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Arskal Salim GP
Jakarta (Pendis)--Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, Arskal Salim GP menegaskan pentingnya implementasi pendidikan antikorupsi secara sistematis dan berkelanjutan di seluruh lembaga pendidikan Islam, mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi keagamaan Islam. Hal ini disampaikan dalam agenda Rapat koordinasi terkait antikorupsi di satuan pendidikan Islam, Kamis (8/5/2025).
Menurut Arskal, korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap nilai-nilai agama dan moral. Oleh karena itu, lembaga pendidikan Islam memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk membangun budaya integritas sejak dini.
“Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian integral dari kurikulum pendidikan Islam. Ini bukan hanya soal pengetahuan tentang hukum, tetapi bagaimana kita membentuk akhlak dan karakter peserta didik yang jujur, amanah, dan bertanggung jawab,” tegas Arskal.
Ia menambahkan bahwa Kementerian Agama melalui Ditjen Pendidikan Islam telah menyusun pedoman integrasi nilai-nilai antikorupsi ke dalam pembelajaran di madrasah dan perguruan tinggi. Implementasinya mencakup revisi kurikulum, pelatihan guru dan dosen, serta penguatan budaya madrasah yang menjunjung tinggi kejujuran dan transparansi.
Dalam kesempatan tersebut, Arskal juga mendorong adanya sinergi antara lembaga pendidikan Islam dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan instansi lain untuk menghadirkan program kolaboratif. Langkah ini menjadi bagian dari komitmen Kementerian Agama dalam mewujudkan pendidikan Islam yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga kokoh secara moral dan spiritual.
Tim KPK menyampaikan bahwa telah melakukan monitoring di beberapa satuan Pendidikan Tinggi termasuk di Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam guna melakukan pemetaan terhadap alokasi anggaran pendidikan yang memiliki indikasi realisasi tidak mencapai 20% sesuai mandat UUD 1945 dan terdapat disparitas BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) pada Perguruan Tinggi Negeri (termasuk perguruan tinggi Kementerian lainnya, keislaman negeri, dan PTN), ungkapnya.
Selain itu juga tim menambahkan bahwa adanya persoalan tidak tepatnya komponen anggaran pendidikan yang masuk dalam 20% anggaran pendidikan yang dikelola pemerintah pusat dan biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) yang tinggi dan tidak sama di beberapa PTKIN.
Menanggapi hal ini, Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Ditjen Pendis Sahiron menjelaskan terkait kondisi saat ini biaya UKT mahasiswa adalah menyesuaikan rumus SSBOPTN (Standar Satuan Biaya Operasional Perguruan Tinggi Negeri) yang diatur dalam PMA No. 7 Tahun 2018.
Memperbarui perhitungan SSBOPTN, Direktorat PTKI memfasilitasi dengan aplikasi untuk mengetahui prodi, kampus, di wilayah tertentu beserta unsur-unsurnya sehingga dapat diperhitungkan biaya UKT nya, terang Sahiron.
Sahiron menambahkan, Direktorat PTKI sudah meminta ke seluruh perguruan tinggi Islam negeri untuk menginventarisir biaya langsung dan tidak langsung yang akan menjadi dasar dalam revisi PMA yang mengatur BOPTN.
Tim KPK memberikan rekomendasi Ditjen Pendis untuk melakukan evaluasi terhadap perhitungan pengelolaan anggaran pendidikan dan mengubah regulasi yang mengatur pengalokasian anggaran pendidikan dan mengamanatkan Kementerian Agama selaku instansi yang membina PTKIN. Rekomendasi lainnya yakni optimalisasi BOPTN sehingga mengcover kebutuhan operasional perguruan tinggi dan juga tidak membebani UKT mahasiswa serta menginventarisir apa saja yang bisa masuk ke alokasi anggaran pendidikan.
Tags:
AntikorupsiBagikan: