Jakarta (Pendis) - Perubahan adalah sebuah keniscayaan, ini sunnatullah dan realitas meneguhkan hal tersebut. Pada gelaran Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (28/11/2017) di Jakarta, Presiden Joko Widodo memberikan beberapa catatan penting tentang Reformasi Birokrasi. Presiden menegaskan perlunya birokrasi yang mampu mengubah mindset, pola pikir dan pola kerja agar bisa beradaptasi dengan perubahan dunia yang begitu cepat.
Pada saat yang sama, Ditjen Pendidikan Islam mengadakan Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Direktorat Jenderal Pendidikan Islam di Batam. Meski diselenggarakan dan bertema Ditjen Pendidikan Islam, cakupan bahasan kegiatan ini menjangkau keseluruhan eselon I Kementerian Agama karena pesertanya juga adalah representasi pihak pihak yang mengelola Reformasi Birokrasi dari masing-masing eselon I.
Secara umum forum juga membahas tentang Kelompok Kerja Reformasi Birokrasi Kementerian Agama dan berbagai hal terkait. Skala dua kegiatan tersebut tentu berbeda dari peserta, topik, dan publisitasnya. Namun demikian, ada irisan makna yang bertemu pada salah pesan dasarnya: pentingnya Reformasi Birokrasi. Mari kita diskusikan beberapa hal terkait dua acara tersebut.
Dari apa yang disampaikan Presiden, kita mafhum bahwa Reformasi Birokrasi adalah upaya yang membutuhkan energi yang besar, fokus, dan terus menerus karena berkaitan dengan pola pikir, mindset, dan tata kerja. Karena terkait mindset, kerja Reformasi Birokrasi pertama sekali dan terutama adalah bagaimana mengubah pola pikir yang berkembang sebelumnya. Delapan area perubahan sebagai locus Reformasi Birokrasi harus dilihat dalam konteks ini. Area-area perubahan itu sudah disajikan sedemikian rupa sebagai spot perubahan.
Perangkat-perangkat untuk melakukan perubahan itu sudah cukup disiapkan dan dilakukan sejauh ini, mulai dari kebijakan, regulasi, sosialisasi dan pembiayaan. Dengan kondisi demikian (bahwa diseminasi dan sosialisasi sudah kerap dilaksanakan), tulisan singkat ini tidak hendak menjadi sebuah bahasan mendalam mengenai pelaksanaan Reformasi Birokrasi Ditjen Pendidikan Islam; tulisan ini berisi husnudzon bahwa kita semua sudah familiar dengan konsepsi Reformasi Birokrasi Ditjen Pendidikan Islam.
Perangkat-perangkat untuk mendukung perubahan tersebut beberapa tahun terakhir sudah biasa dijalankan pada tiap tahun anggaran. Sebagai bagian dari kebijakan utama, langkah ini sudah memadai. Sebagai sarana untuk mengaktualisasikan perubahan, kebijakan tersebut juga berada pada jalur yang sesungguhnya. Namun demikian, benarkah kita sudah berubah sebagaimana harapan Presiden Joko Widodo?
Pertanyaan ini mudah diutarakan, tapi jawabannya sangat tidak gampang. Jika ukurannya adalah penilaian PMPRB (Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi), kita mungkin bisa menjawab positif atas pertanyaan tersebut. Skor PMPRB dari Kemenpan RB bisa menjadi tolok ukur secara kuantitatif atas pelaksanaan Reformasi Birokrasi.
Penilaian tersebut harus didukung dan dilengkapi dengan berbagai evidence untuk setiap jawaban atas beragam pertanyaan yang diberikan. Karena pertanyaan-pertanyaan tersebut menyentuh hampir semua aspek kebijakan dan program kerja Ditjen Pendidikan Islam pada masing-masing unit, bahkan sampai eselon 3, Anda bisa bayangkan betapa mengemas dan mengumpulkan evidence untuk memenuhi PMPRB adalah sebuah pekerjaan clerical yang panjang dan menyita waktu, sangat administratif. Jika kita sepakati, sebagaimana apa yang disampaikan Presiden Jokowi, bahwa Reformasi Birokrasi adalah bagaimana merubah mindset maka pendekatan yang melulu hanya administratif sangat tidak memadai dan berjarak dari harapan Presiden.
Reformasi Birokrasi sebagai Sebuah Kata Kerja
Pemenuhan skoring PMPRB tentu harus dijalankan sebagai respon kebijakan. Skoring ini menjadi penting karena terkait dengan performa Reformasi Birokrasi dalam konteks penilaian Tim Evaluator Kementerian RB. Hanya saja, penilaian dengan tolok ukur evidence yang dirupakan dalam berbagai dokumen setidaknya memiliki beberapa resiko.
Pertama, tingkat konsentrasi dan fokus pengumpulan evidence yang tinggi dan memakan waktu berisiko mengakibatkan kita hanya fokus dengan dokumen, bukan pada aktualisasi dari evidence itu sendiri dan lebih jauh nilai-nilai Reformasi Birokrasi. Kedua, mentalitas perubahan akan terkondisikan pada document minded. Mentalitas seperti ini tidak melihat Reformasi Birokrasi sebagai sebuah gerak organis sebuah kelembagaan. Kita akan beresiko merespon berbagai tantangan dan rencana aksi Reformasi Birokrasi sebatas persoalan pengumpulan dan penyusunan dokumen belaka. Konteks kerja dan aksi Reformasi Birokrasi dalam pemahaman seperti ini barulah sebatas kerja administratif.
Jika kita merasa pendekatan administratif sebagai target dan sasaran, maka semangat perubahan menghadapi resiko jebakan serius: jebakan administratif. Kita hanya akan mencukupkan diri pada entitas administratif tapi menjauhkan diri dari laku aktualitas. Apa yang aktual dari Reformasi Birokrasi adalah ukuran kualitatif selanjutnya.
Bagi saya ukuran sederhananya adalah jujur, jujur bahwa nilai-nilai Reformasi Birokrasi telah inheren dalam derap langkah dan pola kerja ASN dan kelembagaan Ditjen Pendidikan Islam. Kejujuran dan status inheren tersebut mampu memastikan bahwa nilai-nilai reformasi birokrasi telah berjalan dalam rutinitas sehari-hari dan berbagai kebijakan yang dijalankan. Dibutuhkan sebuah kombinasi apik dan berenergi perubahan yang besar untuk menjadikan Reformasi Birokrasi bukan hanya pemenuhan aspek administratif, melainkan juga kerja kolektif.
Bangga dengan Perubahan
Dari apa yang terasakan dalam rutinitas sehari-hari, yang belum nampak dan tumbuh adalah kebanggaan untuk berubah. Mengapa bangga dibutuhkan? Bagi saya, kebanggaan adalah maqom lebih lanjut dari sebuah pemahaman dan kesadaran yang inheren pada setiap ASN Ditjen Pendidikan Islam.
Pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai dasar Reformasi Birokrasi akan membentuk semacam psikologi kolektif yang akan memastikan berbagai kebijakan terkait Reformasi Birokrasi berjalan dengan optimal. Pemahaman ini akan membuat sebuah pembalikan positif dari apa yang biasa berjalan: jika biasanya kita bekerja sebagai bussiness as usual, kita akan biasa menjalankan nilai-nilai perubahan pada Reformasi Birokrasi sebagai sesuatu yang usual, yang menjadi biasa karena terbiasa. Untuk semua itu, tagar #banggaberubah eloknya bisa tersemat pada spirit perubahan dalam diri kita masing-masing.
Wallahu a`lam
Saiful Maarif (Bekerja pada Bagian OKH Ditjen Pendidikan Islam)
Bagikan: