Salah satu akun dalam anggaran belanja pemerintah (pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah) adalah akun belanja pegawai. Sudah terjadi dalam jamak tahun bahwa pos anggaran untuk belanja pegawai mengambil proporsi terbesar dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Direkrorat Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan mencatat bahwa proporsi belanja pegawai untuk Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota tahun 2016 rata-rata 43,59% dari total APBD. Lebih detail Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahkan bahwa di tahun 2016 terdapat 131 Kabupaten/Kota yang alokasi belanja pegawainya mencaplok lebih dari 50% APBD. Wakil Menteri Keuangan menyatakan bahwa dominannya proporsi belanja pegawai di Pemerintah Daerah adalah cermin bahwa kualitas belanja APBD masih rendah. Bagaimana dengan alokasi belanja pegawai pemerintah pusat? "APBN 2017 menyediakan anggaran 26,1% atau sekitar 1/4 dari total belanja pemerintah pusat", ungkap menteri keuangan pada Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Kepegawaian Negara (BKN). Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) adalah unit eselon I dengan alokasi anggaran terbesar di Kementerian Agama dalam lima tahun terakhir (2013-2018). Rata-rata alokasi belanja pegawai di Ditjen Pendis sebesar 60,14%.
Adakah korelasi positif antara porsi anggaran belanja pegawai (yang cukup besar) dengan kinerja para mesin birokrasi ini?. Mari kita tengok lebih jauh tentang disiplin para Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai salah satu unsur meraih kinerja yang baik. Early Warning System (EWS) BKN mencatat bahwa sepanjang tahun 2017 tercatat sebanyak 1.759 ASN dijatuhi hukuman disiplin yang diantaranya sebanyak 852 ASN dijatuhi hukuman disiplin kategori berat. Rincian jumlah ASN yang terkena sanksi berat adalah sebagai berikut: 96 ASN diberhentikan dengan tidak hormat, 251 ASN pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri, 85 ASN pembebasan jabatan dan sisanya penurunan jabatan. Kinerja birokrasi di tanah air menjadi sorotan dan perhatian utama presiden. Hal ini mengemuka ketika Presiden membuka seminar internasional Ikatan Notaris Indonesia akhir tahun 2017. "Bolak balik datang ke kantor pemerintahan, bolak balik selalu disampaikan belum selesai, ditunggu saja". Kalimat ini diungkapkan oleh Presiden Jokowi dan kalimat sederhana ini sejatinya adalah kritikan berbobot Presiden atas jalannya birokrasi di Indonesia.
Fakta bahwa anggaran belanja pegawai yang besar tidak dibarengi dengan perbaikan kinerja/performance birokrasi yang diharapkan, menjadikan Presiden Jokowi sangat getol mendorong adanya perbaikan birokrasi. Perbaikan ini dilakukan dengan cara mereformasi terkait hal-hal mendasar dan dilakukan secara menyeluruh terutama menyangkut soal faktor kecepatan dan kemudahan. Negara-negara di Eropa, Amerika dan Australia di era 1990-an mengenalkan konsep New Public Management (NPM) sebagai mainstream reformasi birokrasi. Konsep NPM kemudian dengan latah direplikasi oleh banyak negara. Namun di masa sekarang, konsep NPM ini banyak menuai kritikan dan dianggap sudah tidak relevan dengan kemajuan zaman. Reformasi birokrasi di Indonesia saat ini didekati dengan merit sistem. Sistem ini berprinsip bahwa jabatan/kedudukan diberikan kepada individu dengan kualitas dan kompetensi yang sesuai. Penerapan merit sistem berpotensi mengurangi tindak kolusi dan nepotisme dalam sebuah organisasi. Zaman terus bergerak, dunia berubah dengan sangat cepat termasuk di birokrasi. Sistem meritokrasi yang telah diterapkan dirasa tidak lagi cukup, diperlukan sebuah keberanian untuk merubah birokrasi yang bersifat prosedural. Keberanian ini dapat dilakukan dengan mengadopsi nilai-nilai positif dari era disrupsi. Lima hal yang mencirikan disrupsi yaitu: lebih cepat (faster), lebih sederhana (simplier), lebih mudah dijangkau (reachable), lebih baik (better) dan terakhir adalah mengubah konsep owning menjadi sharing.
Reformasi dengan mengadopsi nilai-nilai positif era disrupsi dapat difokuskan pada dua hal yaitu pada perbaikan sistem dan aparatur pelaksana. Perbaikan sistem dilakukan dengan cara membangun sistem baru di atas sistem yang lama. Sistem ini merupakan muara atas gagasan yang nantinya akan mengubah seluruh tatanan yang obsolete. Secara sederhana perbaikan sistem dapat dilakukan dengan penerapan teknologi sistem informasi. Tujuan penerapan teknologi sistem informasi untuk mendigitalisasikan segala data dan informasi. Dengan penerapan sistem teknologi informasi maka unsur faster, reachable, simplier dan better dapat terpenuhi. Reformasi di sektor aparatur pelaksana dilaksanakan dengan menghadirkan para pembaharu sebagai konseptor atas ide-ide brilian, ide yang mampu menghadirkan konsep masa depan untuk diimpelementasikan saat ini. Setelah menghadirkan para pembaharu maka harus diikuti dengan mendorong dan mengoptimalkan kontribusi setiap ASN pada unit kerja terkecil. Kontribusi ini harus didesign sebagai outcome organisasi melalui mekanisme multiplier effect.
Perpaduan reformasi sistem dan aparatur pelaksana ini diharapkan mampu menciptakan perbaikan performance birokrasi dan aparaturnya sekaligus mampu mewujudkan terciptanya tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya (clean and good governance) sebagaimana butir kedua Nawa Cita yang diusung Pemerintah. Sebagai penutup, penulis ingin mengutip sebuah kalimat bijak: "perubahan belum tentu membawa kebaikan, namun untuk menjadi lebih baik dipastikan perlu perubahan".
Doni Wibowo
Ditjen Pendidikan Islam
Bagikan: