Ramadhan telah memasuki hari kedelapan. Seperti telah diketahui bersama bahwa bulan ramadhan adalah bulan dimana setiap muslim memiliki kewajiban untuk berpuasa. Perintah tersebut termaktub dalam Q.S. Al-Baqarah : 185.
“Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu ada di bulan itu, maka berpuasalah. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.”
Puasa disebut Al-Quran dengan dua literatur, shiyam (Q.S. Al-Baqarah: 183) dan shaum (Q.S. Maryam : 26). Berdasar penelusuran tentang definisi keduanya, diperoleh penjelasan dari Al-Quran tentang keduanya. Shiyam adalah tidak makan, minum dan bersenggama sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Sementara shaum adalah menahan diri untuk tidak berkata-kata dengan siapapun. Sedangkan menurut jumhur ulama, tidak ditemukan perbedaan definisi antara shiyam dan shaum. Keduanya memiliki penjelasan yang sama yakni menahan diri dari yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Selain itu, puasa juga merupakan salah satu dari rukun Islam. Saat ini kita memahami rukun Islam hanya sebagai rukun Islam. Padahal dari kata yang digunakan dalam hadits tentang rukun Islam menggunakan kata “buniyal Islamu ‘ala khomsin”, artinya Islam dibina/dibangun di atas lima hal. Apa maksudnya? Rukun Islam adalah metode yang harus dilalui seseorang untuk menjadi muslim. Puasa menempati level keempat dalam rukun Islam. Mulai dari syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa ramadhan, dan berhaji ke baitullah jika mampu. Puasa merupakan level keempat dari proses menjadi Muslim.
Hakikat Puasa
Imam Ghazali membagi puasa menjadi 3 tingkatan, puasa awam, puasa khusus, puasa khususil khusus. Puasa awam adalah puasa level dasar yakni menahan diri dari makan, minum dan bersenggama. Puasa khusus adalah puasa level kedua yakni selain menahan diri dari makan, minum dan bersenggama juga menahan diri dari perbuatan dosa. Selanjutnya puasa khususil khusus adalah puasa yang sempurna yakni menahan diri yang meliputi hati, pikiran dan perbuatan dari yang membatalkannya.
Sementara itu, berdasar hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu berkata, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda, “Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
Dari hadits ini, ada sesuatu yang menarik untuk dikaji. “Puasa itu untukku” sebuah kalimat yang Allah sampaikan dalam hadits Qudsi tersebut. Menjadi jelaslah bahwa puasa merupakan persembahan manusia untuk Allah. Bergetar hati menyadari hal ini, layakkah selama ini yang kupersembahkan untuk Tuhanku?
Sementara dalam hadits yang lain, Rasulullah bersabda, “Berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali lapar dan dahaga saja.” (HR. Ibnu Majah no.1690). dalam hadits yang lain dikatakan, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan selalu mengamalkannya, maka Allah Ta’ala tidak butuh kepada puasanya.” (HR. Al-Bukhari no.1804)
Ketika memaknai puasa sebagai persembahan manusia untuk Allah, maka terbayanglah gambaran sebuah persembahan. Kemasannya dihias sedemikian indah, isinya dipilihkan yang terbaik, penyajiannya diberikan dengan penuh ke-tawadhu-an dan kerendahan hati. Seperti itulah gambaran ketika kita hendak memberikan bingkisan kepada seseorang yang kita hormati atau anggap mulia. Tergetar hati saat mengingat puasa yang diklaim Allah sebagai persembahan untuk-Nya.
Berdasar analogi tersebut dan atas keyakinan bahwa puasa adalah persembahan kita untuk Allah, maka selayaknyalah manusia mempersembahkan pemberian yang terbaik. Kemasannya dihias dengan rapi dan indah, isinya dipilihkan buah-buah yang terbaik. Kemasan adalah puasa syari’at, isinya adalah puasa hakikat, penyajiannya adalah puasa khususil khusus.
Kemasan puasa adalah tidak makan, tidak minum, tidak berhubungan seks. Itu adalah wadahnya, hiasan dari kemasan itu adalah ritual ibadah sunnah lain yang menghiasi ramadhan. Jika kita hanya berpuasa tanpa melakukan ritual-ritual pendamping, ibarat kita memberi persembahan pada Allah dengan wadah yang polos tanpa hiasan.
Selanjutnya kita masuk ke dalam isi persembahan. Sesuai hadits di atas, isi puasa adalah latihan kepasrahan kepada Allah dengan mengorbankan keakuan diri. Pengendalian hawa nafsu nabatiah, hewaniah, dan insaniah sehingga menjadi manusia yang disiplin dan sadar. Sebagaimana tujuan dari pelaksanaan shiyam yang disampaikan Allah dalam Q.S. Al-Baqarah: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
Takwa adalah menjalankan perintah menjauhi larangan, definisi ini sama dengan definisi disiplin. Sehingga dapat dipahami bahwa tujuan puasa adalah untuk membentuk manusia menjadi manusia-manusia disiplin. Dalam bahasa hadits, manusia yang diampuni dosa yang telah lampau atau seperti hari pertama dilahirkan.
Maka, isi dari persembahan puasa ramadhan adalah ketakwaan kita kepada Allah. Kepasrahan hidup kita diatur oleh Allah dan rasul-Nya. Pikiran, ucapan, dan perbuatan kita yang sesuai dengan keinginan Allah dan rasul-Nya. Untuk mempersembahkan yang terbaik untuk Allah, kita perlu memperbanyak amal sholeh, baik dalam koridor hablum minallah, hablum minannas, maupun hablum minal alam. Selain itu kita juga perlu menjaga hati, pikiran, ucapan dan perbuatan dari sesuatu yang mencemari. Sombong, riya, iri dengki, syirik adalah racun yang mencemari hati, pikiran, ucapan, dan perbuatan kita.
Setelah kita menghias kemasan dengan ritual ramadhan yang mewah, mengisi wadah persembahan dengan perbuatan-perbuatan baik, maka selanjutnya adalah proses menyerahkan persembahan itu kepada Allah. Kemasan yang mewah, isi yang melimpah dan bagus akan sia-sia jika kita persembahkan hadiah itu dengan niat yang buruk. Demikianlah cara mempersembahkan puasa kita kepada Allah. Niat yang ikhlas, tulus hanya berharap Allah ridho dan senang dengan persembahan kita, tidak dikotori dengan niat atau tujuan lain.
Semoga kita tidak hanya mempersembahkan kemasan indah tanpa isi atau isi yang penuh dengan kotoran, dan semoga kita dapat menjadikan ramadhan ini sebagai persembahan terbaik kita untuk Allah, dan semoga akhirnya kita menjadi golongan yang kembali, menang dan hamba merdeka.
Oleh : Sudarjat, M.Pd
(Guru PAI SMAN 1 Cijeruk)
Tags:
OpiniBagikan: