AICIS dan Penjagaan Reputasi Wajah Pendidikan Islam Indonesia

AICIS dan Penjagaan Reputasi Wajah Pendidikan Islam Indonesia

Jakarta (Pendis) - Perhelatan akbar tahunan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang secara khusus mempertemukan para intelektual dan para cendikiawan Muslim dari seluruh perwakilan lembaga pendidikan Tinggi Islam di Indonesia adalah hajat terpenting Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Kementerian Agama Republik Indonesia untuk menyumbangkan kontribusi dalam membangun dan mengembangkan peradaban Islam Indonesia yang rahmatan lil`alamiin. Tidak tanggung-tanggung yang hadir dalam forum yang amat terhormat tersebut adalah mereka yang sangat ekspert dan di bidang kajian Islam. Perheletan ini akan berlangsung selama empat hari dari tanggal 20 s/d 23 November 2017 di Convention Exhibition BSD City Tangerang Banten. Dalam sebuah wawancara Dirjend Pendidikan Islam Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA mengatakan bahwa ada poin penting yang hendak ditunjukkan kepada dunia mengenai upaya mempromosikan Islam Indonesia sekaligus pendidikan Islam Indonesia sebagai destinasi utama kajian Islam (www.sarekatnews.com).

Memang pada saat ini, diakui atau tidak bahwa wajah Islam Indonesia yang santun, toleran, dan moderat sedang diusijk oleh sebagian kelompok Muslim sendiri yang karena faktor pemahaman keagamaannya yang begitu sempit berusaha untuk memaksakan pengaruhnya kepada masyarakat Islam mainstream di Indonesia. Bahkan upaya sekelompok kecil masyarakat tersebut bisa dikatakan efektif di dalam mempengaruhi masyarakat karena disamping mereka dijiwai oleh semangat dakwah dan jihad fii sabilillah, doktrin keagamaan tersebut memang bersifat normatif. Bagi orang-orang awam tidak berani untuk melakukan kritik, karena hal tersebut memang bagian dari dakwah, walaupun di dalamnya terdapat banyak unsur provokasi dan bahkan isi dakwanya mengandung hujatan kepada kelompok lain yang berbeda dengan mereka. Bentuk pengaruh tersebut nyata sebagaimana yang akhir-akhir ini dapat dirasakan bersama, begitu mudah individu atau kelompok tertentu menghujat kepada individu atau kelompok lain yang justru sama-sama Muslim hanya gara-gara berbeda pemahaman. Disampaikan oleh Prof. Dr. Noorhaidi, MA, selaku ketua Steering Committee yang semakin menguatkan adanya fenomena ini. "bahwa tantangan bangsa saat ini adalah radikalisme, intoleransi dan konservatisme" memang betul adanya.

Sangat mengagetkan hasil riset oleh PPIM UIN Ciputat yang telah mensurvei sikap keberagamaan Sekolah dan Universitas secara nasional di Indonesia. Dalam survei tersebut dikatakan bahwa aksi intoleran guru/ dosen sebagai pendidik mencapai 69.3 %. Hasil survei tersebut semakin menguatkan bahwa ancaman intoleransi semakin kuat dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara dan sekaligus menjadi tantangan berat bagi para pegiat moderasi dan toleransi di Indonesia. Dan kenyataan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa masa depan bangsa akan dihantui oleh sikap intoleran yang dalam kondisi tertentu akan cepat menyulut api konflik apabila tidak segera diantisipasi. Walaupun tidak sepenuhnya benar, karena adanya anggapan dari sebagian masyarakat yang menilai bahwa riset tersebut terlalu berlebihan dan terkesan memojokkan umat Islam. Namun menurut saya, hal tersebut bisa dibenarkan. Gambaran mengenai wajah Islam Indonesia saat ini, mengikuti Stephen Schwartz dalam The Two Faces of Islam berada diantara bandul ekstrimis-fundamentalis dan bandul moderat-toleran yang secara khusus pada saat ini memang sangat mengkhawatirkan bagi keutuhan bangsa Indonesia.

Anehnya isu-isu intoleran yang sebenarnya digerakkan oleh kelompok minoritas dari sebagian Muslim tidak bisa ditandingi oleh institusi pendidikan Islam sendiri. Pendidikan Islam di Indonesia dianggap belum mampu mengatasi berbagai kesenjangan dalam masyarakat khususnya dalam mengatasi konflik yang disebabkan oleh perbedaan. Bahkan sebagian pakar mengatakan bahwa pendidikan Islam di Indonesia belum memiliki identitas yang mapan. "Sistem nilai Islam yang seharusnya diterapkan dalam pendidikan Islam masih terjebak dan sangat dipengaruhi oleh sekterianisme yang disebabkan adanya faktor pemikiran dari mazhab-mazhab Islam" (Muhaimin. 2011: 2) sehingga Pendidikan Islam Indonesia belum memiliki identitas sebagai institusi pendidikan Islam yang berkarakter Islam Indonesia. Sehingga dalam praktiknya berbagai institusi pendidikan Islam yang berkembang tersebut selalu beridentitas pada organisasi keagaman dan ideologi dan tidak menutup kemungkinan saling bersaing yang terkadang juga lebih melibatkan ego kelompok dengan politik identitasnya masing-masing dari pada membangun keberagaman yang mengharmoni. Seperti yang disampaikan oleh Arief Subhan bahwa secara kelembagaan terdapat banyak tipe pendidikan Islam di Indonesia, seperti tipe Muhammadiyah, tipe Kementerian Agama, tipe Nahdlatul Ulama, tipe Salafi (Subhan, 2012 : 8-9) dan juga tipe pendidikan Syiah.

Dengan demikian ada semacam kegelisahan terhadap eksistensi Pendidikan Islam itu sendiri di masyarakat. Banyaknya faksi pendidikan Islam di Indonesia yang belum mampu dijembatani oleh otoritas pendidikan Islam, dalam hal ini bisa disebut Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kemenag RI sebagai pengendali seluruh lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Fenemone pendidikan Islam Indonesia sebagaimana disebutkan di atas yang belum memiliki karakteristik keindonesiaan yang menurut almarhum Prof. Muhaimin (Allohu Yarham) tersebut, di mana masih terjebak dalam kotak-kotak mazhab dan pemikiran Islam secepatnya harus dan sesegera mungkin diatasi. Saya kira apa yang digagas oleh Bapak Dirjend mengenai langkah kongkrit dalam mempromosikan wajah Islam Indonesia dan menjadikan pendidikan Islam sebagai destinasi utama kajian Islam dunia dengan mengajak para rektor UIN dan IAIN agar menawarkan beasiswa bagi mahasiswa asing untuk mengambil kuliah di PTKI di Indonesia adalah hal yang positif. Namun yang tak kalah penting adalah bagaimana terlebih dahulu melakukan pembenahan ke dalam terhadap eksistensi dan kewibawaan perguruan Tinggi Indonesia sendiri. Di samping faktor fragmentasi lembaga pendidikan, selama ini Perguruan Tinggi Islam di Indonesia juga dianggap belum mampu menunjukkan hasil yang diharapkan masyarakat. Karena, walaupun telah terjadi perluasan pasaran pengguna lulusannya, akan tetapi banyak persoalan yang dihadapi oleh Perguruan Tinggi Islam kita. Persoalan utama yang diahadapi oleh Perguruan Tinggi Islam di Indonesia saat ini adalah belum mampu memenuhi dua tujuan pokok pendidikan Tinggi Islam seperti yang terkandung dalam PP Nomor 60 tahun 1999, yaitu pertama, masalah kualitas lulusan yang dihasilkan, dan kedua, adalah sumbangan Perguruan Tinggi Islam pada pembangunan ilmu agama Islam. Bahkan pada poin yang kedua Perguruan Tinggi Islam dianggap belum mampu sepenuhnya berkontribusi.

Kendati secara kuantitas, jumlah lulusan PTKI sudah sangat banyak, secara kualitas kondisinya masih jauh dari memuaskan. Mutu kebanyakan lulusan PTKI masih dianggap belum memenuhi harapan masyarakat. Masalah sumbangan PTKI terhadap pembangunan ilmu, teknologi, seni, dan budaya yang bernafaskan Islam juga dinilai masyarakat masih kurang siginifikan. Masyarakat belum melihat PTKI sebagai pusat kajian ilmu Agama tempat mereka menoleh apabila ada persoalan-persoalan yang menyangkut agama, apalagi dibidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya yang bernafaskan Islam. Dalam masalah-masalah agama misalnya, masyarakat masih lebih suka menoleh kelembaga keagamaan lain diluar PTKI, seperti lebih menoleh ke Majelis Ulama, Majelis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU dan sebagainya (Furchan.,2004), dan bahkan pada saat ini ketika bermunculan lembaga-lembaga atau ormas Islam yang baru dan terindikasi kontroversial dalam komitemennya menjunjung nilai-nilai toleran, moderat, dan demokrasi, justru menjadi pilihan masyarakat, dari pada menolehkan wajah kepada PTKI. Selanjutnya Arief Furchan juga menyebutkan beberapa hambatan yang dihadapi oleh sebagian besar lulusan Perguran Tinggi Islam yaitu, pertama, penguasaan ilmu agama Islam yang kurang mendalam akibat ketidakmampuan membaca kitab klasik yang merupakan khazanah ilmu pengetahuan agama Islam. Kedua penguasaan ilmu pengetahuan umum untuk dapat berkomunikasi secara lancar dengan anggota masyarakat yang menguasai bidang itu kurang. Ketiga, penguasaan yang kurang luas terkait metodologik dan teknik penyampaian agama Islam pada masyarakat yang berbeda-beda; dan keempat, keteladanan yang kurang dapat diikuti akibat kurangnya penghayatan ajaran agama Islam. Untuk itu, dalam momen yang sangat mulia dan terhormat tersebut selain mempromosikan wajah Islam Indonesia sebagai identitas islam yang rahmatan lil`alamiin, perlu dilakukan pengevaluasian lembaga pendidikan Islam secara umum dan khususnya juga pada PTKI yang oleh pak Dirjend akan dijadikan model studi Islam dunia dan sekaligus menjadi destinasi utama studi Islam. Sehingga momen AICIS benar-benar memiliki reputasinya dalam menjaga wajah Islam ddan sekaligus pendidikan Islam Indonesia.

(Penulis : Ali Muhtarom, Mahasiswa S3 Kependidikan Islam Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Dosen UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)


Tags: