Apakah Fakultas Pertanian Menghasilkan Petani?

Apakah Fakultas Pertanian Menghasilkan Petani?

Kalau fakultas kedokteran menghasilkan dokter, fakultas ekonomi menghasilkan ekonom, maka fakultas pertanian menghasilkan petani. Pemahaman ini barangkali merupakan pengertian yang umum muncul di masyarakat. Mungkin semenjak dua-tiga puluh tahun yang lalu, karena masyarakat bertambah pragmatis. Akibatnya, muncul pendapat ‘kalau hanya jadi petani saja tidak perlu sekolah tinggi-tinggi’.
Inilah yang terjadi di Indonesia, meskipun kecenderungan globalnya juga seperti itu.
Persepsi masyarakat terhadap perguruan tinggi pertanian memang tidak mendukung minat anak muda untuk memilih pertanian sebagai tujuan pendidikan lanjut. Pilihan yang populer adalah kedokteran, teknik, ekonomi, bahasa asing, komunikasi dst. Data lima tahun terakhir dalam catatan laporan tahunan Fakultas Pertanian UGM menunjukkan memang terjadi fluktuasi minat terhadap bidang pertanian teknis pra-panen. Namun minat ini tentunya tergantung pada faktor lain, seperti misalnya sistem penerimaan mahasiswa baru, dan juga daya tampung fakultas.
Dalam hal daya tampung, selama lima tahun, kecuali pada 2008, jumlahnya terus ditingkatkan. Hanya saja minat juga akhirnya yang menentukan. Padahal retorika ‘pentingnya sektor pertanian dalam pembangunan’ selalu digaungkan oleh pemerintah yang sedang menjabat. Kesadaran bahwa belum (tidak) ada kegiatan penyedia pangan yang dapat menggantikan sektor pertanian pasti juga dimiliki. Buktinya keberhasilan program swasembada pangan masih terus menjadi dambaan, kalau tidak boleh disebut obsesi, setiap pemegang tampuk pemerintahan. Kebutuhan dasar selain pangan sedikit banyak juga masih menggantungkan diri pada pertanian. Bahan sandang dan rumah tangga, bahan bangunan, pakan ternak, ada yang sebagian atau seluruhnya tergantung pada kegiatan bertani dan bercocok tanam.
Atau justru karena kegiatan bertani dan bercocok tanam di Indonesia yang masih lekat dan dekat dengan kerja kasar ini yang menyebabkan bidang pertanian kurang diminati? Boleh jadi. Bangsa ini merupakan bangsa yang sedang bergerak dan mencoba mendefinisikan dirinya, dengan bermacam-macam cara. Seperti apa sesungguhnya bangsa yang ‘modern’ dan ‘canggih’ itu? Yang sudah meninggalkan kerja fisik, banyak menggunakan olah pikir, masuk ke kehidupan ‘menak’ dan ‘piyayi’? Kalau itu benar menjadi pikiran bawah sadar masyarakat, maka memang agak sulit meningkatkan minat ke perguruan tinggi pertanian.
Padahal permasalahan pertanian tidak menjadi semakin mudah. Sebaliknya, problematika dan permasalahannya membutuhkan lebih dari sekadar pemikiran rata-rata. Seorang lulusan perguruan tinggi pertanian masa kini haruslah seorang yang visioner, memahami permasalahan, memiliki wawasan luas, dapat menerjemahkan teori dan hasil penelitian ke dalam bentuk terapan dan seterusnya. Ini tidak dapat dilakukan oleh mereka yang komitmennya kepada bidang pertanian kecil, atau bahkan tidak ada. Saat ini penjabaran kembali kompetensi lulusan yang baku sedang dicoba disusun kembali melalui KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia). Suatu konsep baku mutu lulusan PT gagasan Ditjen Dikti yang dalam bidang pertanian ditangani oleh UGM dan IPB.
Dan mengubah pandangan serta persepsi yang sudah mengakar di pikiran banyak orang tidaklah mudah. Maka yang perlu berbenah, pada sisi lain, adalah institusinya. Pendidikan pertanianlah yang harus mampu memberikan citra tentang apa pertanian itu sesungguhnya. Ini barangkali sudah dilakukan dengan baik oleh IPB, tetapi perlu diikuti oleh pendidikan tinggi pertanian Indonesia yang lain. Perguruan tinggi pertanian di Indonesia selama ini memang menghasilkan lebih banyak ‘birokrat’ pertanian. Namun bukankah sebetulnya juga mampu menghasilkan ahli atau akademisi pertanian unggulan, praktisi pertanian atau petani unggulan, yang bahkan cukup kompeten di luar bidang pertanian?
Pemerintah sendiri, dalam hubungannya dengan pengadaan SDM ahli pertanian, perlu melakukan program yang sungguh-sungguh membuktikan keberpihakannya kepada pertanian. Sistem insentif bagi siswa yang memilih bidang ilmu pertanian, misalnya, barangkali efektif untuk menarik minat lulusan unggul. Beasiswa berikatan dinas, yang saat ini sudah jarang dilakukan, tidak ada salahnya dihidupkan kembali.
Dengan demikian, bidang pertanian tidak hanya disebut sebagai bidang utama, penting, pokok dan tak dapat diabaikan; tetapi kemudian didudukkan di bangku cadangan. Tantangan pengadaan pangan, ketersediaan pangan, ketahanan pangan, kedaulatan pangan dan keterjaminan pangan belum akan dapat diserahkan kepada bidang lain. Pendidikan tinggi pertanian menanggapi tantangan ini dengan menghasilkan ahli pertanian: akademisi pertanian yang tanggap, pendidik (guru, dosen, penyuluh) pertanian yang tanggap, praktisi pertanian (pekebun, petani, pengusaha hasil bumi) yang tanggap, demikian seterusnya.
Jadi, pada akhirnya fakultas pertanian memang juga harus dapat menghasilkan petani, petani intelektual yang aktif dan memahami perannya dalam kehidupan berbangsa, sehingga berguna untuk sesama, migunani tumraping liyan. q - o. (3475-2011).
*) Prof Dr Edhi Martono MSc
Gurubesar Pengajar Pascasarjana
Ilmu Pertanian, Fakultas Pertanian UGM.
Artikel kerja sama Panitia Lustrum 13
Fakultas Pertanian UGM dengan KR.


Tags: