Belajar Menghargai Proses

Belajar Menghargai Proses

PERNAHKAH kita berpikir bagaimana proses terjadinya nasi yang siap dihidangkan di meja makan? Nasi tersebut melalui proses panjang dari awal hingga akhirnya siap disantap. Dimulai dari pemilihan benih padi unggul, disemai di sawah. Setelah tumbuh, kemudian melalui proses cocok tanam di hamparan sawah yang sudah dibajak atau ditraktor. Hampir tiga bulan lamanya tanaman padi harus dirawat, dicukupi airnya, dipupuk, disemprot dan dibersihkan dari tanaman pengganggu. Setelah tua, padi dipanen dengan cara dirontokkan. Padi-padi yang sudah terpisah dari batang tersebut kemudian diangkut ke rumah petani. Dikeringkan dengan cara dijemur. Kemudian digiling sehingga menjadi bulir-bulir beras. Beras kemudian dimasak sampai menjadi nasi.
Sudah menjadi sunnatullah atau hukum alam, segala sesuatu memerlukan proses. Seorang bayi yang baru lahir tidak serta merta dapat makan nasi atau kue seberapapun pintar dan hebatnya si bayi, ia tetap harus melalui proses mengonsumsi ASI.
Banyak anak sekarang yang bercenderunganhasil serba cepat dengan melupakan proses. Ingin mendapat nilai bagus tetapi tak mau belajar, sehingga memilih cara mencontek saat ulangan/ ujian. Ingin memiliki HP atau motor tetapi tak mau menabung, akhirnya ‘memaksa’ orangtua agar dibelikan, atau berbuat kriminal, mencuri. Jika hal itu juga didukung perilaku salah orangtua. Misalnya, orangtua lebih mementingkan nilai rapor tinggi tanpa mau tahu apakah nilai tersebut diperoleh dari hasil belajar sendiri, mencontek atau hasil jual beli kunci ujian. Orangtua yang lebih mementingkan karier, berangkat kerja pagi ketika anak belum bangun dan pulang larut malam ketika anak-anak sudah tidur, sehingga tak ada waktu sekadar menemani belajar.
Masyarakat banyak yang marah dan prihatin ketika melihat oknum pemimpin negeri ini baik jajaran eksekutif, yudikatif maupun legislatif yang terjerat perilaku curang; korupsi, suap, mafia proyek, mafia hukum, jual beli perkara, kolusi dan nepotisme. Perilaku curang tersebut juga berawal dari ingin hasil cepat dengan melupakan proses. Ingin cepat kaya tetapi tak mau bekerja dengan benar, dipilihlah cara korupsi.
Anak-anak adalah calon pemimpin masa depan. Jika perilaku anak-anak yang serba instan dan melupakan proses ini dibiarkan, hanya akan melahirkan pemimpin korup. Kita harus belajar dari kisah Nabi Nuh AS, tentang menghargai proses. Disebutkan dalam sebuah riwayat, ketika Nabi Nuh as mendapat perintah Allah untuk membuat perahu agar selamat dari banjir bandang, tidak serta merta tersedia kayu. Nabi Nuh harus memilih benih pohon unggul, kemudian ditanam. Butuh waktu berpuluh tahun agar tanaman tumbuh baik. Setelah ditebang, digergaji, sehingga menjadi potongan kayu. Ia sabar mengerjakan perintah Tuhan di tengah caci-maki karena membuat kapal saat kemarau dan di atas gunung pula. Akhirnya, janji Tuhan terbukti, Nabi Nuh selamat dari banjir dan orang-orang yang mencelanya tenggelam bersama air bah. q - g
*) Sumarno, pemerhati pendidikan, pengajar
di TPA Ainun Jaariyah Sentolo Kulonprogo.


Tags: