Berkah atau Anak Masalah? (Langkah Alternatif Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam)

Berkah atau Anak Masalah? (Langkah Alternatif Peningkatan Kualitas Pendidikan Islam)

Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Jakarta adalah ibu kota sekaligus episentrum Indonesia. Selain sebagai pusat pemerintahan banyak sumber menyebutkan bahwa perputaran uang di Indonesia hampir 60-70%-nya terjadi di Jakarta. Jakarta adalah magnet ekonomi Indonesia. Magnet ekonomi ini di satu sisi menciptakan berkah dan peluang bagi sebagian orang namun tak jarang menimbulkan potensi masalah bagi lainnya. Pemerintah Propinsi DKI merilis data bahwa di tahun 2015 kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 5.000 orang/km2 dan pertumbuhan populasi 12 orang/jam. Fakta menarik lainnya adalah bahwa ketimpangan pendapatan antara si kaya dan si miskin di Jakarta menempati urutan kedua dari 34 propinsi yang ada di Indonesia. Data 2009-2013 menunjukan bahwa pertambahan jumlah penduduk kategori "miskin" di Jakarta utara secara rerata meningkat hampir 10 orang/hari. Gubernur boleh silih berganti namun hingga saat ini kemiskinan masih merupakan isu serius yang coba dibenahi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui sejumlah program yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Menurut kacamata ekonomi, pendidikan merupakan long-term investment, sebuah investasi jangka panjang. Benang merah ekonomi dan pendidikan dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut. Pendidikan adalah tools untuk menciptakan sumberdaya manusia produktif. Produktivitas dapat dicapai melalui peningkatan kemampuan kognitif dan afektif. Manusia-manusia yang produktif inilah yang akan mendongkrak perekonomian sebuah negara. Jika ekonomi terus tumbuh dan berkembang maka kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Maka tidak mengherankan apabila negara menggelontorkan anggaran yang cukup besar di bidang pendidikan dan sangat serius memperhatikan output dari proses pendidikan tersebut. Terlepas pro dan kontra penyelenggaraan Ujian nasional (UN), hasil UN adalah alat ukur pencapaian kognitif seorang siswa yang merupakan salah satu output pendidikan.

Di Tahun 2015 Pemda DKI mengalokasikan dana di sektor pendidikan sekitar 18,17 triliun dan cenderung meningkat setiap tahunnya. Alokasi dana ini diperuntukan bagi semua sekolah, siswa dan guru baik sekolah umum ataupun untuk madrasah. Statistik mencatat jumlah siswa Madrasah Tsanawiyah (MTs) sekitar 17.97% dari total siswa di jenjang Sekolah Menengah Pertama dan jumlah Madrasah Tsanawiyah (negeri dan swasta) sebanyak 244 satuan pendidikan. Besar upah minimum propinsi (UMP) Pemerintah DKI Jakarta tahun 2015 sebesar 2,7 juta. Masih di tahun yang sama sebanyak 88,76% penghasilan orang tua siswa MTs di DKI berada di bawah UMP dan hanya 11.24% siswa menikmati penghasilan orangtua di atas UMP. Puluhan Jurnal penelitian internasional memberikan referensi bahwa status sosial-ekonomi sebuah keluarga merupakan pendulum yang menentukan ouput seorang siswa selama menjalani proses pendidikan. Hasil penelitian menunjukan bahwa di Propinsi DKI Jakarta ada perbedaan yang cukup siginifikan hasil ujian nasional (UN) antara siswa madrasah yang orang tuanya mempunyai penghasilan di atas UMP dengan siswa yang berasal dari keluarga dengan penghasilan di bawah UMP.

Sejarah mencatat madrasah adalah institusi pendidikan Islam yang lahir dari rahim masyarakat. Maka tak mengherankan apabila dijumpai di banyak daerah madrasah memberikan pelayanan pendidikan kepada siswa/siswi dari masyarakat kurang mampu. Di satu sisi ini merupakan "berkah" bagi madrasah, di sisi lain bisa dipandang sebagai sebuah threat yang kemudian bisa menimbulkan masalah. Dalam konteks pencapaian tujuan pendidikan yang diintegrasikan dengan kepentingan ekonomi negara, Kementerian Agama dalam hal ini Ditjen Pendidikan Islam selaku penanggung jawab utama pendidikan Islam harus mencoba mencari program alternatif untuk mereduksi threat ini. Program yang dirancang oleh Ditjen Pendis selama ini lebih banyak menggunakan locus pendekatan internal dengan target guru, siswa dan lembaganya. Namun di sisi lain ada sumber masalah lain yang harus dijamah dan digarap. Sumber masalah tersebut adalah kondisi ekonomi keluarga siswa.

Lantas bagaimana mengatasi masalah ini? Apakah tidak bertentangan dengan tusi Ditjen Pendis?. Program afirmasi seperti Program Indoensia Pintar (PIP), Bantuan Operasioan sekolah (BOS) sudah sangat baik dijalankan. Penulis menawarkan alternatif program yang salah satunya dengan membuat memorandum of understanding (MoU) dengan Kementerian/Lembaga negara lainnya. Kerjasama ini berfokus pada kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan yang pada akhirnya mampu mengangkat perekonomian keluarga. Lebih konkrit, Ditjen Pendis bisa memberikan zona-zona dimana kondisi perekonomian orang tua siswa madrasah berada dalam "zona merah"/zona kurang mampu. Selanjutnya data tersebut dapat diserahkan kepada Kementerian/Lembaga negara lainnya untuk dijadikan sasaran program/kegiatan. Success story telah dibuat oleh Kementerian Agama ketika menandatangani kerjasama dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dalam penyediaan fasilitas tenaga terampil di pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam bisa dijadikan rujukan untuk pengembangan lebih lanjut. Jika program ini menyasar peserta didik, maka sangat mungkin program ini dikembangkan dengan mentargetkan para orang tua siswa/santri. Selain dengan BKPM tentunya Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi adalah pilihan utama sebagai mitra. Mapping zona kondisi ekonomi siswa madrasah dapat diserahkan kepada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk selanjutnya dapat diteruskan kepada berbagai Balai Latihan Kerja (BLK) di tingkat Kabupaten/Kota ataupun Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) ditingkat Desa/Kelurahan. Kita bukanlah superman, kita sadar bahwa masalah pendidikan tidak mungkin dapat diselesaikan hanya oleh satu atau dua kementerian. Untuk itu diperlukan koordinasi, sinkronisasi dan kemudian implementasi program sesuai tusi masing-masing.

Doni Wibowo
Pecinta Data
Alumnus Quantitative Data Analysis for Policy Evaluation Programme
University of South Australia


Tags: