"Bully" Terjadi karena Kesalahan Orang Tua

"Bully" Terjadi karena Kesalahan Orang Tua

Jakarta (Suara Pembaruan)- Ketua Gerakan Nasional Anti Bullyng (GENAB) Mardianto Jatna mengatakan, sampai saat ini belum ada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang bullyng. Padahal, faktanya bullyng termasuk salah satu kekerasan dalam dunia pendidikan yang terus meningkat

Media sosial seperti Fecebook, Twitter, Line, dan sebagainya, menurut Mardianto, merupakan sarana untuk melakukan bully. Perlakuan bully di media sosial, sangat tinggi peningkatanya, dan menimbulkna efek yang besar bagi pelaku dan korban.

"Bully di media sosial bisa bias dan sangat mengganggu karena penyebaran cepat. Jadi, sangat berbahaya bagi korban dan pelaku yang sebetulnya sama-sama korban," ujar Mardianto di Jakarta, Selasa (17/3).

Menurut dia, kekerasan dan kenakalan, termasuk bully merupakan kesalahan orang tua karena melimpahkan semuanya kepada sekolah. Orang tua tidak mengerti perannya sebagai pendidk selama anak berada di rumah. Mereka lebih mengutamakan mencari uang dan tidak menjadikan rumah sebagai tempat bersama dan bernaung keluarga.

" Orang tua harus mengubah pemikiran tentang fungsi rumah yang selama ini diterapkan," tuturnya.

Selain peran orang tua, menurutnya, guru BK harus memiliki peran yang lebih dari sekadar menangani kasus per kasus. Guru BK harus menjadi sarana penyambung lidah antara siswa, sekolah, dan orang tua.

"Setiap siswa memiliki kepribadian yang berbeda. Tak jarang ada siswa tidak mau terbuka pada orang tua atau pihak sekolah, walaupun mereka memiliki masalah, sehingga di sini peran guru BK sangat diharapkan," ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Guru Besar Universitas Trisakti, Prof. Melanie Sadono, bahwa peran guru BK lebih dari sekadar menangani kasus, namun pada kenyataanya, di Indonesia jumlah guru BK masih jauh dari ideal dengan rasio guru BK satu berbanding 10, tetapi kenyataanya dalam satu sekolah hanya ada tiga sampai empat guru BK.

Menurut Melanie, jika terjadi kasus, baru kemudian siswa ditangani. Hal ini menyebabkan tidak ada langkah pencegahan yang optimal pada anak yang akan melakukan kekerasan.

Melanie mengharapkan dengan kondisi kekerasan kepada anak yang semakin meningkat, sebaiknya semua guru bisa bertindak sebagai guru BK dengan mampu melakukan penyuluhan, pembimbingan, dan pendekatan kepada siswa, dengan mengubah pola lebih tepat sasaran, ramah, tertib aturan sehingga tujuan dan target pembelajaran bisa tercapai.

Selain itu, peraturan sekolah juga harus ditegaskan. "Tidak boleh ada peraturan sekolah yang justru melemahkan, sehingga tidak ada ketegasan sekolah di mata siswa," ujarnya.

Dikatakan, untuk mewujudkan sekolah ramah, sekolah wajib melakukan evaluasi berkala secara berkesinambungan, apakah ada kekurangan atau tidak. Jika ada, secara cepat diperbaiki dan dicarikan solusi. Sekolah juga harus menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat tempat pendidikan tersebut berada.

Penulis: Maria Fatima Bona/PCN


Tags: