Dirjen Pendis: Dosen PAI pada PTU Harus Berlatar Pendidikan Agama

Dirjen Pendis: Dosen PAI pada PTU Harus Berlatar Pendidikan Agama

Serpong (Pendis) - "Dosen Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum harus berlatar belakang pendidikan agama yang sangat baik. Jika tidak, niscaya akan fatal". Demikian pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin ketika mengisi kegiatan "TOT Pengembangan Pembelajaran PAI pada PTU Angkatan 1" yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama bertempat di Hotel Santika BSD Serpong, 4-6 April 2017. Kegiatan ini dihadiri oleh pejabat dan JFU di lingkungan subdit PAI pada PTU dan beberapa kepala seksi di lingkungan Direktorat PAI serta dosen-dosen PAI (Pendidikan Agama Islam) dari berbagai PTU (Perguruan Tinggi Umum).

Menurut Kamaruddin, saat ini terjadi kekurangan dosen PAI (Pendidikan Agama Islam) pada Perguruan Tinggi Umum, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. "Banyak dosen PAI yang tidak pernah belajar agama secara serius dari lembaga pendidikan Islam, bukan pula sarjana agama. Hal ini sangat berbahaya dan fatal akibatnya. Sama bahayanya jika ada dokter yang melakukan kegiatan medis sementara ia tidak memiliki ilmu kedokteran. Tentu akibatnya sangat fatal," papar Dirjen Pendis.

Aspek lain yang diungkap Dirjen adalah terkait dengan Rancangan Peraturan Pemerintah Pendidikan Tinggi Keagamaan sebagai turunan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. "Jika RPP ini jadi, maka akan terjadi perkembangan yang sangat luar biasa. Program-program studi agama baik di PTKI maupun PTU itu untuk izin program studinya menjadi otoritas dari Kementerian Agama. Demikian juga untuk program-progran studi pendidikan umum, baik di PTKI maupun PTU maka izinnya dari Kemenristek-Dikti," papar Kamaruddin. Hal yang sama juga terjadi pada pembinaan bagi dosen-dosennya yang akan mengikuti progran studi. "Untuk dosen PAI pada PTU semuanya menjadi otoritas Kementerian Agama," tegas Dirjen Pendis.

Poin penting yang diungkap oleh Dirjen Pendis di hadapan dosen PAI pada PTU itu adalah terkait dengan posisi pendidikan agama. Menurutnya, pendidikan agama bukan hanya semata-mata mata kuliah atau mata pelajaran di lingkungan kampus atau sekolah saja. Akan tetapi, ia juga merupakan instrumen politik dan kohesi sosial, sehingga mungkin jadi dapat menimbulkan sektarianisme. Oleh karenanya, pendidikan agama selalu menjadi menarik. Sebagai implikasinya, pendidikan agama tidak hanya diajarkan di dalam kampus saja, tetapi juga di luar kampus. "Oleh karena pendidikan agama menjadi instrumen kohesi sosial bahkan ideologi dalam berpolitik, maka seringkali terjadi penetrasi yang sangat luar biasa dan membenturkan atas ideologi keagamaan yang telah mapan. Penetrasi antar ideologi-ideologi begitu terbuka, termasuk terhadap ideologi trans-nasional yang belakangan gencar dan tanpa kontrol terjadi di dunia kampus," papar guru besar UIN Makassar itu.

Menurut pria kelahiran Wajo, 5 Januari 1969, perguruan tinggi merupakan instrumen negara dalam mewujudkan visi negara. "Di beberapa negara besar, mereka menjadi kuat karena perguruan tingginya yang hebat. Sebab, perguruan tinggi merupakan instrumen negara dan harus memperkokoh posisi negara. Jika ada perguruan tinggi yang mendegradasi negara maka harus dihentikan". Oleh karenanya, mata kuliah pendidikan agama itu harus linier dan menjadi instrumen dalam mewujudkan visi negara.

Tipologi Islam

Menurut alumni pondok pesantren As`adiyah Sengkang ini, dalam kajian tentang Islam itu setidaknya ada 3 (tiga) domain yang harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Pertama, sumber otoritas agama, yakni Alquran dan hadits. "Sumber ini bersifat universal dan ada di seluruh belahan negara. Sumber otoritas agama ini tidak pernah berubah dan ada di berbagai belahan negara". Kedua, penafsiran atau pemahaman atas sumber otoritas agama itu. "Bagaimana sumber otoritas agama itu dipahami, inilah yang kemudian disebut dengan pendapat atau penafsiran. Oleh karenanya, harus dibedakan antara mana Alquran dan mana tafsir atas Alquran," papar Kamaruddin Amin.

Ketiga, bagaimana Islam itu diamalkan dalam konteks sejarah dan kehidupan bangsa. Dalam hal ini, konteks atau situasi sosial masyarakat memberi warna atas pengamalan keislaman itu. "Untuk hal ini, implementasi Islam antara satu negara dengan negara yang lain akan mengalami perbedaan. Pengamalan Islam secara sosiologis di Saudi tentu akan berbeda dengan Islam di Indonesia, karena Islam direfleksikan atas realitas yang dihadapinya. Islam di Indonesia yang inhern dan menjadi bagian dari proses dialektika dalam berdemokrasi akan berbeda dengan negara yang tingkat demokrasinya kurang mapan," papar doktor jebolan Rheinische Friedrich-Wilhelms-Universitat, Jerman.

Menurut Kamaruddin Amin, Islam secara sosial sesungguhnya sangat erat dengan kemaslahatan dan kebaikan seluruh umat. Sebab, Islam harus mampu memberi jawaban atas problem yang dihadapi, atau dengan meminjam bahasa Fazlur Rahman, Islam sebagai "ide moral". Oleh karenanya, di kalangan ulama dikenal terminologi "Tasharruf al-imam `ala al-ra`iyyat manuth bi al-mashlahah" (Kebijakan pemerintah harus berorientasi pada kemaslahatan banyak). Dalam konteks keindonesiaan, demokrasi merupakan instrumen dalam mewujudkan kemaslahatan itu. Dengan demikian, "Agama harus menginspirasi dan memberikan pencerahan kepada masyarakat. Agama harus menginspirasi atas negara sehingga menjadikan negara yang islami, bukan negara Islam formal," tegas Dirjen Pendis.

Tantangan bagi PTU

Hal lain yang diungkap oleh guru besar hadits yang menguasai beberapa bahasa asing ini, terkait dengan tantangan bagi PTU. "Tantangan besar bagi PTU adalah bagaimana menjelaskan tentang Islam itu dalam pengajaran di PTU, demikian juga bagaimana menjelaskan tentang Islam dan demokrasi yang memang tidak bisa dipisahkan," papar Kamaruddin Amin.

"Dalam amatan saya, sepanjang Islam itu ada maka sepanjang itu pula Islam akan terus dikaji dengan menarik, tak terkecuali di sejumlah negara sekuler sekalipun," papar alumni magister dari Rijks Universiteit, Belanda. "Di berbagai belahan negara sekuler sekalipun, seperti di Oxford, Inggris, Belanda, Jepang, dan lain-lain, agama tetap dipelajari. Namun, di negara sekuler itu, agama dikaji dan diajarkan bukan untuk menjadikan "orang yang shaleh" tetapi agama sebagai kohesi sosial dan perekat kemasyarakatan," papar Kamaruddin.

Dalam situasi itu, menurut Dirjen Pendis, agama mampu diajarkan dengan sangat menarik karena dengan cara dan metodologi yang menarik juga. "Para gurunya mampu menciptakan kondisi seperti itu. Metode pedagogiknya sangat menarik. Bagi guru, belajar itu diarahkan untuk membentuk karakter, merangsang dan memunculkan motivasi, bukan semata-mata transfer of knowledge. Jika kondisi seperti ini mampu dilakukan di tingkat SD, misalnya, maka di PTU akan lebih produktif dan sangat menarik. Apalagi jika agama itu dijadikan sebagai sebuah "angle" yang bisa dilihat dari berbagai perspektif, maka pendidikan agama akan menjadi menarik, hidup, dan kontributif," papar Dirjen Pendis.

Hal lain yang diungkap oleh Dirjen Pendis adalah terkait dengan bonus demografi. "Saat ini terdapat sekitar 6 juta mahasiswa di Indonesia. Jika mereka tidak memiliki pengetahuan agama yang cukup maka bisa dibayangkan masa depan bangsa ini sangat buram. Lebih-lebih Indonesia memiliki bonus demografi yang luar biasa," paparnya. Ada sekitar 118 juta penduduk Indonesia dalam usia 25 (dua puluh lima) tahun ke bawah sebagai potensi bonus demografi, yang terdiri atas 6 juta mahasiswa dan 50 juta siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. "Dalam konteks bonus demografi ini, agama patut untuk menjadi instrumen dalam menciptakan generasi yang lebih baik," pinta Dirjen Pendidikan Islam.

Lebih lanjut Dirjen Pendis menyatakan, "Dalam proses pengajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi umum, harus ada kesamaan visi, persepsi, dan tujuan terutama di kalangan guru dan dosennya. Pendidikan agama Islam harus diarahkan pada penguatan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan yang kuat; dan itu juga harus tercermin di dalam kurikulum yang akan dikembangkan". (swd/dod)


Tags: