Ditjen Pendis Proaktif Dalam Inisiasi Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme

Ditjen Pendis Proaktif Dalam Inisiasi Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme

Jakarta (Pendis) - Direktorat Jenderal Pendidikan Islam turut aktif dalam inisiasi penanggulangan radikalisme dan teorisme melalui sinergi K/L (Kementerian/Lembaga) yang dimotori oleh Kantor Staf Presiden (KSP). Dalam rapat awal koordinasi penanggulangan radikalisme dan teorisme yang dibuka Jaleswari Pramodhawardani, Deputi V KSP, turut serta hadir Nurul Huda dan Suwendi (Dit. PAI), serta Ainur Rofiq (Dit. PD-Pontren), serta sejumlah pejabat dari berbagai K/L.

Menurut Jaleswari, program penanggulangan radikalisme dan terorisme itu di antaranya didasarkan atas dokumen Nawa Cita 1 dan 9, yakni "menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara" dan "memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia." Di samping itu, amanat Presiden dalam pembacaan Nota Keuangan Agustus 2016 di gedung DPR-MPR tentang fokus anggaran 2017 dan rapat paripurna Januari 2017 di Bogor yang memposisikan persoalan radikalisme dan teorisme merupakan kegiatan yang harus diprioritaskan, sehingga isu ini masuk dalam RKP 2017 sebagai bagian tema Program Pertahanan dan Keamanan. Oleh karenanya, di tahun 2017 ini diharapkan dapat menghasilkan Instruksi Presiden atas strategi nasional penanggulangan radikalisme dan terorisme secara sinergis antar K/L.

Dalam diskusi itu, hadir sebagai narasumber Sri Yunanto, penulis dan pemerhati terorisme dan radikalisme. Di dalam paparannya, disebutkan bahwa radikalisme dan terorisme saat ini telah menyebar ke berbagai isu dan kawasan. Isu ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi gejala global yang patut terus diwaspadai. Para WNI yang telah kembali dari ISIS di Syiria perlu penanganan yang serius sehingga mereka tidak kembali ke ISIS, apalagi menjadi penyebar gerakan ISIS di Indonesia. Adapun gerakan radikalisasi keagamaan yang berkembang di Indonesia saat ini telah mengalami perubahan wujud dan gerakan yang sangat masif. Saat ini muncul gerakan anti-NKRI, anti-demokrasi, anti-pemerintah dengan menggunakan semangat keagamaan, dan anti-toleransi. Berbagai gerakan ini terus menyusup ke masyarakat luas, baik melalui pendidikan, kajian keagamaan, media sosial, dan lainnya.

Dalam diskusi itu, muncul tanggapan dari peserta. Suwendi, misalnya, mengungkapkan bahwa di lingkungan sekolah dan perguruan tinggi umum telah terjadi radikalisasi yang sangat serius. Hasil penelitian PPIM tahun 2016 menunjukkan setidaknya 18% guru Pendidikan Agama Islam pada sekolah itu meyakini bahwa Indonesia dapat diubah ke sistem khilafah melalui jalan pemberontakan, perlawanan, peperangan dan terorisme. Pada aspek kesiswaan di sekolah, studi penelitian LAKIP tahun 2010 menemukan bahwa dari 25,7% siswa/siswi SMA/SMK di Jabodetabek yang mengenal organisasi radikal itu ternyata ada 12,1% mereka menyetujui agenda-agenda organisasi radikal itu. Terkait dengan PTU, studi "Penelitian Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum" Balitbang Kementerian Agama RI tahun 2015 menunjukkan bahwa Peran dan fungsi PAI di Perguruan Tinggi umum lebih banyak dilakukan oleh organisasi-organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan dibandingkan dengan peran dosen PAI. Dikesankan fungsi dan tanggung jawab dosen PAI di PTU "telah diambil alih oleh organisasi kemahasiswaan maupun oleh organisasi kemasyarakatan yang ada di lingkungan kampus", melalui berbagai tawaran kegiatan keagamaan yang dikoordinasikan oleh mahasiswa maupun ormas. Namun diakui, kegiatan-kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh organisasi kemahasiswaan dan organisasi kemasyarakatan yang diikutinya itu lebih banyak mengembangkan ide-ide pemikiran radikal dan transnasional. Melihat data-data ini, persoalan radikalisasi di lembaga pendidikan sangat nyata.

Peserta diskusi lainnya, Ainur Rofiq, menyebutkan bahwa aplikasi PDPP (Pangkalan Data Pondok Pesantren) yang dibuat oleh Kementerian Agama diharapkan dapat membantu dalam pemetaan potensi pondok pesantren terutama dalam penanggulangan terorisme dan radikalisme. Pondok-pondok pesantren yang berwawasan moderat diharapkan dapat menjadi mitra layanan dalam pengembangan Islam yang rahmatan lil`alamin.

Sementara peserta lainnya menyebutkan bahwa gerakan radikalisme dan terorisme saat ini tidak hanya menyusup di masyarakat luas, tetapi juga telah masuk ke oknum ASN (Aparatur Sipil Negara) di berbagai K/L dan Pemerintah Daerah. Oknum ini adalah orang negara yang justeru menghancurkan negara dari dalam. Bahkan, masjid-masjid yang berada di lembaga pemerintah dan UKM kini telah diisi oleh para juru dakwah yang berfaham radikal. Jaringan radikalisme kini begitu masif di Indonesia. Untuk itu, perlu ada penanganan serius atas persoalan-persoalan itu. (swd/dod)


Tags: