DIY KURANG GURU PENDAMPING KHUSUS ; Mengajar Sekolah Inklusi Cukup Sulit

DIY KURANG GURU PENDAMPING KHUSUS ; Mengajar Sekolah Inklusi Cukup Sulit

YOGYA (KR) - Kebutuhan guru inklusi (siswa berkebutuhan khusus) di wilayah DIY sampai saat ini belum bisa terpenuhi. Hal tersebut dikarenakan sekolah yang membuka kelas inklusi semakin banyak, tapi tidak diimbangi ketersediaan tenaga pengajar atau Guru Pendamping Khusus (GPK) yang mencukupi. Padahal jumlah anak berkebutuhan khusus (ABK) dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.

“GPK di Kota Yogya sebanyak 51 orang, dari jumlah tersebut 13 di antaranya dari provinsi. Sedangkan sekolah inklusi ada 21 lembaga dengan jumlah total siswa 174 anak. Jika melihat perbandingan tersebut, jumlah GPK yang ada masih sangat kurang,” tutur Kepala Seksi (Kasi) Manajemen Sekolah Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan (Dikdas Disdik) Kota Yogyakarta, M Arif Widodo kepada KR, Minggu (7/8).
Arif mengungkapkan, karena jumlahnya masih terbatas, Disdik mencoba mengantisipasi kekurangan GPK dengan memberdayakan dan memberikan pelatihan bagi guru biasa baik Tenaga Bantu (Naban) maupun PNS supaya mampu mengajar siswa inklusi. Para guru tersebut nantinya mendapatkan tambahan insentif antara Rp 100-150 ribu.
“Minimal dalam tiap sekolah ada satu guru dari Pendidikan Luar Biasa (PLB) kemudian guru tersebut yang membuat monsep dan menjadi koordinator Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) bagi siswa inklusi, baru kemudian dibantu guru biasa,” imbuh Arif.
Selain memberdayakan guru biasa, Disdik juga meminta bantuan mahasiswa semester akhir dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) untuk membantu pelaksanaan KBM bagi siswa inklusi yang tersebar di beberapa sekolah.
Kabid PLB dan Dikdas Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY, Dra Sri Widayati menyatakan, jumlah sekolah inklusi di DIY ada 132 sekolah, sementara jumlah guru GPK baru 115 orang. Padahal dalam 1 kelas di sekolah inklusi idealnya ada 2 guru.
Untuk mengatasi kekurangan jumlah guru di sekolah inklusi, Dikpora sudah melakukan berbagai upaya. Di antaranya dengan melibatkan guru SLB dan mengadakan pelatihan khusus.
“Penanganan ABK tidak bisa disamakan dengan sekolah reguler, karena membutuhkan perhatian ekstra. Oleh karena itu untuk mengatasi kekurangan guru inklusi, Dikpora bekerja sama dengan lembaga lain sengaja mengadakan pelatihan,” terangnya.
Sementara itu, Kepala MTs LB Yaketunis Yogyakarta Agus Suryanto MPdI menjelaskan, mencari guru untuk mengajar di sekolah inklusi cukup sulit. Karena biasanya guru itu tidak mau diberi beban tambahan. Sementara penghasilan sama dengan mengajar di sekolah normal. “Tanpa diniati perjuangan, memang berat menjadi guru di sekolah inklusi,” kata Agus Suryanto .
Pihaknya sudah menerima surat mutasi tambahan guru dari tempat lain, tetapi yang bersangkutan belum datang ke sekolah. Di Yaketunis, bagi guru yang belum bisa membaca huruf Braille ada petugas penerjemah. Disamping itu, mempelajari huruf sebetulnya cukup mudah, sehingga asalkan mereka serius bisa cepat hafal. (M-1/Ria/War)-o


Tags: