GKN dan Sarjana Wirausaha

GKN dan Sarjana Wirausaha

2 Februari 2011 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama 13 Kementerian Republik Indonesia mencanangkan satu gerakan yang selama ini kita nanti-nantikan bersama yaitu Gerakan Kewirausahaan Nasional (GKN). Bertempat di Gedung Smesco UKM, Jakarta, Presiden SBY menyatakan gerakan ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, mengurangi jumlah pengangguran dan angka kemiskinan.
Jika melihat data, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran saat ini tercatat sebanyak 8,32 juta jiwa atau sekitar 7,14 persen dari jumlah penduduk Indonesia 235 juta jiwa. Data ini belakangan menjadi masalah karena seringkali data yang dimunculkan pemerintah bertolak belakang dengan realitas di lapangan.
Yang istimewa dari GKN ini adalah dukungan 13 Kementerian yang kesemuanya sangat terkait dengan penciptaan lapangan kerja. Ketigabelas Kementerian itu antara lain: Kementerian Perekonomian, Kementerian KUKM, Kemendiknas, Kemenperin, Kemendag, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kemenpora, Kemendagri, Kementerian BUMN, Kemenbudpar, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian Pertanian.
Berbagai upaya dilakukan untuk mendukung GKN di antaranya program pengembangan sumber daya manusia, peningkatan program pembiayaan, dan pemasaran bagi calon wirausaha. Sehingga, seluruh kementerian bersinergi dengan BUMN, perbankan, organisasi masyarakat dengan satu tujuan untuk meningkatkan kualitas, kuantitas dan eksistensi GKN.
Target yang ingin dicapai melalui GKN ini adalah meningkatnya jumlah wirausaha di Indonesia yang sekarang hanya 0,24 persen dari populasi menjadi minimal 1 persen pada 2014. Padahal untuk membangun ekonomi bangsa yang maju, menurut sosiolog David Mc Cleiland dibutuhkan minimal 2 persen atau 4,8 juta wirausaha.
Sebagai perbandingan, Singapura memiliki wirausaha 7,2 persen, Malaysia 2,1 persen, Thailand 4,1 persen, Korea Selatan 4,0 persen, dan Amerika Serikat 11,5 persen dari seluruh populasi penduduknya. Jika melihat kenyataan ini, perlu waktu hingga tahun 2030 bagi Indonesia untuk memiliki jumlah wirausaha sebanyak 4,8 juta orang atau sekitar 2 persen dari total jumlah penduduk saat ini. Karena itu, perlu percepatan penciptaan wirausaha baru untuk meningkatkan kesempatan kerja serta mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Selain itu pula, melalui GKN ini, berbagai program digulirkan antara lain program wirausaha 1.000 sarjana, pelatihan kewirausahaan, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL), program pembiayaan CSR, PNPM Mandiri, hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang tahun ini ditarget Rp 20 triliun tanpa jaminan.
Menurut saya, GKN ini menjadi momentum di awal tahun di tengah situasi ekonomi makro yang stabil. Meski belakangan ekonomi mikro sedikit terganggu karena meningkatnya harga barang-barang kebutuhan pokok. Gerakan ini nantinya akan mampu menggerakkan sinergi berbagai pemangku kepentingan di Indonesia untuk mencetak lebih banyak calon wirausaha baru. GKN ini juga diharapkan akan menjadi strategi jangka panjang untuk mengintegrasikan pembelajaran kewirausahaan antara berbagai pihak baik pemerintah, akademisi, dunia usaha, maupun tokoh masyarakat.
Secara teoretis, wirausaha merupakan seseorang yang percaya diri, mampu memanfaatkan sumber daya menjadi peluang dan dengan kreativitasnya mampu mengubah sesuatu menjadi lebih bermanfaat sekaligus meningkatkan kesejahteraan diri, masyarakat dan lingkungannya .
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, ada tiga alasan utama yang mendasari bahwa peran wirausahawan sangat penting untuk mengurangi jumlah kemiskinan dan pengangguran di Indonesia. Pertama, wirausahawan mampu menambah daya tampung tenaga kerja sehingga dapat mengurangi angka pengangguran. Jika pengangguran ini berkurang maka angka kemiskinan juga akan semakin menurun. Kedua, wirausahawan bisa menjadi ujung tombak pembangunan, terutama sekali dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, wirausahawan bisa menjadi contoh tauladan bagi anggota masyarakat lain karena kepribadian pelaku wirausahawan yang inheren seperti unggul, mandiri, jujur, tahan banting, disiplin, pantang menyerah dan pekerja keras. Hal ini memberikan dampak positif terutama bahwa wirausahawan hidupnya tidak tergantung pada orang lain (mandiri).
Agar GKN ini efektif, tentunya harus melibatkan dunia pendidikan. Perguruan Tinggi (PT) yang selama ini jadi pusat penyebaran ilmu wirausaha seyogianya menyiapkan diri dengan kurikulum kewirausahaan yang memadai. Karena, sebagai pengajar PT, saya mencermati kebanyakan materi yang diajarkan di PT entah itu PTN atau PTS, lebih banyak mengajarkan (transfer of knowledge) kepada mahasiswanya ilmu-ilmu menghafal. Otak kita dijejali dengan pengertian-pengertian teoretis yang dalam kehidupan nyata hampir tidak pernah terpakai.
Logika kognitif lebih banyak mendominasi proses belajar mahasiswa daripada logika afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Padahal syarat menjadi wirausahawan lebih mengutamakan praktik (skillfull oriented) bukan teori (knowledge oriented). Yang lebih parah adalah dosen kewirausahaan tidak pernah merasakan dan mengalami sendiri praktik bisnis atau kewirausahaan yang sesungguhnya. Ini harus diubah! Jika pemerintah menyadari kenyataan ini, maka program wirausaha 1000 sarjana yang digulirkan GKN akan lebih efektif hasilnya. Lihat mahasiswa China, Jepang, Hongkong, Thailand, dan Singapura yang dalam banyak hal selalu lebih unggul dan terampil daripada mahasiswa kita. Karena pendidikan kewirausahaan mereka lebih menitikberatkan sisi praktik lapangan (business concept, business plan dan business action) dalam kurikulumnya. Bagaimana menurut Anda?. q - g. (2506-2011).
*) Abdul Muid Badrun, Pelaku Usaha, Dosen Kewirausahaan dan Bisnis Solo Business School (STIE ) dan
STAIN Surakarta.


Tags: