Kebijakan Pendidikan Berbasis Riset Partisipatif

Kebijakan Pendidikan Berbasis Riset Partisipatif

Oleh Ari Kristianawati
DESAIN kebijakan pendidikan nasional yang diterapkan selama ini ternyata tanpa melalui riset yang memadai. hal tersebut diungkapkan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Musliar Kasim dalam diskusi publik tentang capaian kualitas pendidikan nasional. Kebijakan pendidikan nasional yang mendasarkan visi dan strategi bertumpu pada produk Undang-undang Sistem pendidikan Nasional, yakni UU No 20 Tahun 2003, tidak didiskursuskan melalui prosedur ilmiah yang berbasis kepentingan publik.

Produk kebijakan pendidikan nasional dengan seperangkat aturan teknis dan konsep yang dijalankan secara hirerakhi birokratis, di lapangan dianggap banyak memunculkan kegagalan dan menjadikan arah pendidikan nasional tidak berpihak pada kepentingan publik. Pemerhati kritis pendidikan bahkan menyebut arah dan "roh" pendidikan nasional semakin merapat pada kepentingan mazhab liberal.

Pendidikan nasional haluan gerak operasional kebijakan menuju ke arah apa yang disebut mcdonaldinasi pendidikan. Pendidikan menjadi alat kepentingan pasar.

Haluan pendidikan nasional tidak lagi mematuhi mandat konstitusi, yakni menjadi media untuk mencerdaskan masyarakat tanpa diskriminasi. Pendidikan nasional justru menjadi instrumen pembelahan sosiologis (the sociologycal cleavage), dengan beberapa konsep pendidikan yang kapitalistik. Pendidikan menjadi komoditas yang dipasarkan dalam ruang ekonomis dengan berbagai standar harga dan biaya. Hal tersebut "dibungkus" dalam tajuk pendidikan unggulan, pendidikan dengan berbagai label standardisasi dan pendidikan akselerasi yang semuanya bertumpu pada patokan biaya dan harga yang harus "dibayar" oleh masyarakat yang direposisikan sebagai konsumen.

Pendidikan yang menyatu dengan kepentingan "ekonomis" pasar, tidak mampu mereproduksi kemajuan yang kualitatif dan kuantitatif. Kemajuan bercorak kualitatif tidak tercapai dengan indikator masih rendahnya indeks pembangunan manusia dan indeks kualitas pendidikan nasional dibandingkan dengan negara lain.

Munculkan Paradoks

Pemerataan pelayanan pendidikan tidak menyentuh masyarakat di wilayah terpencil, pelayanan pendidikan yang berbiaya murah bagi masyarakat usia wajib belajar tidak memadai. Banyak fasilitas fisik pelayanan pendidikan dasar yang tidak terehabilitasi.

Pendidikan di Indonesia yang desain kebijakannya tanpa riset, akhirnya memunculkan paradoks. Paradoks (perbenturan fakta dan idealita) antara pendidikan yang seharusnya diabdikan bagi pembangunan manusia tanpa diskriminasi (education for all), berhadapan dengan pendidikan yang menciptakan kasta sosial dengan label sekolah unggulan dengan biaya mahal. Antara pendidikan yang idealnya sehaluan dengan mandat konstitusi berhadapan dengan karakter pendidikan yang mengabdi hasrat ekonomi.

Pendidikan di Indonesia yang dilaksanakan atas kebijakan tanpa riset akhirnya meghasilkan output (keluaran) yang bertolak belakang dengan filosofi pendidikan yang konstitusional.

Ari Kristianawati, guru dan Koordinator Kajian Filsafat Demokrasi Sragen


Tags: