Keprihatinan Mutu Sertifikasi Guru

Keprihatinan Mutu Sertifikasi Guru

Adakah korelasi antara sertifikasi guru dan mobil baru? Secara konsep tentu tidak ada. Sertifikasi merupakan program untuk meningkatkan kualitas guru. Namun faktanya berbeda. Di Kota Semarang, guru-guru yang lolos sertifikasi punya mobil, motor, dan rumah baru. Muncul kesan orientasi materi, sekadar kemasan, bukan isi. Sejak bergulir empat tahun lalu, program ini menuai krirtik dari banyak pihak. Selain kecurangan dalam penyiapan portofolio, juga menjadi lahan baru praktik pungutan. Kasusnya hampir merata di semua daerah, tidak hanya yang sekarang ramai di Wonogiri.

Kita menyadari rendahnya kualitas pendidikan, dan guru sebagai komponen kunci menjadi sorotan. Faktor mutu guru acap kali dikaitkan dengan rendahnya kesejahteran. Menyadari hal itu, pemerintah memberikan perhatian khusus dengan menyiapkan beragam kemudahan dan tunjangan, salah satunya melalui sertifikasi. Syaratnya tidak sulit. Guru wajib membuat portofolio dengan melampirkan masa kerja, usia, pangkat, dan golongan, beban kerja, tugas tambahan, dan prestasi kerja. Dan, persyaratan itu sepertinya tidak langsung berhubungan dengan peningkatan kualitas guru.

Mendiknas M Nuh prihatin mereka yang sudah lolos sertifikasi umumnya tidak menunjukkan peningkatan kemampuan mengajar, sebaliknya malah menurun. Kesalahan orientasi menyebabkan hanya sebagian kecil guru sertifikasi portofolio mengalami peningkatan kualitas pedagogis, profesionalitas, sosial, dan kepribadiannya. Begitu banyak kritik, tahun ini format sertifikasi lewat portofolio hanya dijatah 1 persen dengan seleksi ketat, selebihnya melalui jalur Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Portofolio hanya untuk guru berprestasi dan kompetensinya tidak diragukan lagi.

Program beranggaran besar itu tidak membuahkan hasil sepadan. Tahun depan anggaran pendidikan nasional naik Rp 19,7 triliun, dari Rp 266,9 triliun menjadi Rp 286,6 triliun, namun 70 persen untuk membayar gaji dan beragam tunjangan, termasuk anggaran sertifikasi guru hampir Rp 100 triliun. Janganlah praktik sertifikasi hanya formalitas, akal-akalan untuk mengejar tunjangan. Maka kita berharap jalur PLPG dengan memperbanyak workshop, subjek spesifik pedagogik, dan memperbaiki pelaksanaan pembelajaran bisa dipertanggungjawabkan dan meningkatkan mutu guru.

Jika melihat proses dalam sertifikasi guru, kita ragu bagaimana membentuk karakter yang bertanggung jawab dan peduli pada anak-anak didik? Dalam kondisi krisis nilai seperti ini, bisakah guru mengajarkan kejujuran sebagai pilar utama dalam mendidik? Proses ini jelas membutuhkan kesungguhan dan kerja keras. Tugas mengajar bukan rutinitas tanpa roh kreativitas dan inovasi, atau hanya memindahkan materi buku pelajaran ke otak siswa-siswinya. Semestinya guru adalah motivator, inspirator, dan mampu menggali potensi para siswanya.

Profesi mulia ini sesungguhnya adalah panggilan jiwa, bukan semata-mata pekerjaan. Idealnya, kita butuh sosok yang sungguh-sungguh menyiapkan mata pelajaran, mengajar, mengevaluasi, dan mengelola kelas dengan penuh cinta kasih. Jangan setengah-setengah, datang dan pulang mengajar tanpa memahami hakikat mendidik untuk anak-anak. Bangsa ini terpuruk karena kualitas pendidikannya yang rendah. Maka atas nama masa depan bangsa, hentikan mental mengajar hanya untuk mengejar materi. Bangkitkan kembali semangat mengabdi dengan cinta yang tulus.


Tags: