Ki Hadjar : Guru Itu Pemimpin

Ki Hadjar : Guru Itu Pemimpin

Ki Hadjar Dewantara dan pendidikan nasional merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Kalau kita berbicara tentang Ki Hadjar, demikian sebutan familiar untuk Ki Hadjar Dewantara, maka di angan kita pastilah segera tergambar tentang pendidikan nasional Indonesia yang kita citakan bersama, sebaiknya kalau kita berbicara tentang pendidikan nasional maka di angan kita akan segera muncul sosok Ki Hadjar sebagai pelopornya.
Tanpa mengesampingkan jasa pejuang pendidikan yang lainnya, jasa Ki Hadjar dalam mengembangkan pendidikan nasional memang tidak perlu diragukan. Perjuangan Ki Hadjar sudah dilakukan jauh hari sebelum bangsa ini memproklamasikan kemerdekaannya.
Pada masa penjajahan Belanda, Ki Hadjar dikenal gigih melawan kebijakan penjajah yang ingin mengerdilkan kiprah pendidikan yang dilakukan oleh putra-putra bangsa. Dalam peristiwa Onderwijs Ordonnantie (1932) misalnya, beliau memimpin bangsa ini untuk melawan kebijakan penjajah yang ingin “membumi-hanguskan” embrio pendidikan nasional yang mulai tumbuh di sana-sini. Dengan menerapkan strategi perlawanan lijdelijk verseet, Ki Hadjar berhasil menganulir kebijakan penjajah yang melarang berdiri dan berkembangnya sekolah-sekolah Kaoem Boemi Poetra.
Banyak konsep Ki Hadjar yang munculnya sebelum bangsa Indonesia merdeka tetapi sampai saat ini masih sangat relevan untuk dikembangkan, meski terkadang di masyarakat sering terlupakan.
Konsep tentang Guru
Menurut konsep Ki Hadjar, guru bukanlah orang sembarangan. Guru itu adalah seorang pemimpin. Guru adalah seorang pamong yang tugas utamanya adalah hangemong sang anak. Pengertian dan konotasi anak dalam konsep ini tidaklah selalu anak dalam pengertian biologis akan tetapi anak dalam pengertian psikologis dan sosiologis.
Anak dalam pengertian psikologis adalah siapa saja yang kedewasaan jiwa dan kedewasaan ilmunya lebih rendah daripada guru. Kedewasaan jiwa siswa TK, SD,SMP dan SMA umumnya lebih rendah daripada guru maka para siswa itulah yang dimaksud Sang Anak. Di perguruan tinggi banyak mahasiswa yang usianya jauh lebih tua daripada dosennya akan tetapi kedewasaan ilmunya lebih rendah daripada dosen. Dalam hal ini mahasiswa itulah yang dimaksud Sang Anak, meski usianya lebih tua daripada dosen atau gurunya.
Anak dalam pengertian sosiologis adalah siapa saja yang secara sosial memerlukan bantuan orang lain menyangkut pendidikan. Kalau ada anak tunawisma yang tidak sekolah karena alasan biaya tetapi memerlukan bantuan orang lain agar dapat mengikuti pendidikan maka anak tunawisma itulah yang dimaksud Sang Anak. Di sisi lain kalau ada putera pejabat yang terkena kasus narkoba dan memerlukan bantuan orang lain untuk mengikuti pendidikan khusus maka putera pejabat itulah yang dimaksud Sang Anak.
Dari konsep guru dan anak tersebut, muncullah konsep kepemimpinan yang terdiri dari tiga matra, masing-masing ialah ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani. Konsep kepemimpinan ini di lingkungan Tamansiswa, suatu lembaga pendidikan dan kebudayaan yang langsung didirikan oleh Ki Hadjar, lazim disebut dengan Trilogi Kepemimpinan.
Ketika berada di depan, seorang guru haruslah mampu menjadi teladan bagi anak didik dan masyarakat. Di sekolah, guru menjadi teladan dalam berperilaku akademis. Di masyarakat, guru harus mampu menjadi teladan dalam bersosiabilitas dengan komunitas. Itulah makna ing ngarsa sung tuladha. Ketika berada di tengah, guru harus mampu memberikan dorongan dan dukungan kepada anak didik dan masyarakat. Di sekolah, guru pandai memberikan semangat kepada siswa atau mahasiswa yang menghadapi ujian nasional atau ujian semesteran misalnya. Di masyarakat, guru harus mampu memberi dorongan kepada tetangga sekitar dalam menciptakan lingkungan sehat misalnya. Itulah makna ing madya mangun karsa.
Ketika di belakang, seorang guru haruslah mampu memahami sambil mengarahkan kehendak anak didik dan masyarakat. Di sekolah, guru pandai mengikuti cara akademis siswa sembari mengarahkan kalau ada hal yang kurang pas. Di masyarakat, guru cakap menjalankan kesepakatan warga sambil memperbaiki kekurangannya. Itulah maka tutwuri handayani.
Guru dalam Realitas
Apakah guru kita sekarang ini sudah sesuai dengan guru yang dikonsepsi oleh Ki Hadjar? Di sinilah masalahnya! Jangankan menjadi pemimpin, untuk memerdekakan diri saja terkadang tidak mudah, bahkan kepercayaan pihak lain kepada guru pun mulai tergerus.
Kasus Ujian Nasional (UN) adalah contohnya. Semestinya UN yang diberlakukan kepada Sang Anak dalam hal ini siswa SMA, MA dan SMK misalnya, menjadi domein guru, bukan domein dosen, apalagi polisi. Tetapi apa yang terjadi? Koordinator pengawas UN bukanlah guru, penanggung jawab UN bukanlah guru, pembuat soal UN bukanlah guru, pengolah nilai UN bukanlah guru, bahkan pengawas penggandaan soal UN pun bukanlah guru. Bagaimana hal ini bisa terjadi di negara yang sudah merdeka lebih dari setengah abad lamanya?
Kita berhak menangis kalau menyaksikan pelaksanaan UN di SMA, MA atau SMK misalnya. Memang pengawas UN di ruang ujian adalah guru meskipun datang dari sekolah lain dengan sistem “pengawasan silang” untuk memperkecil kecurangan dan hal ini wajar saja, tetapi di sekolah tersebut “ditanam” orang yang bertugas mengawasi seluruh kegiatan UN yang menjadi domeinnya sendiri.
Mengapa demikian? Karena tingkat kepercayaan terhadap guru begitu rendahnya sekarang ini. Dan peristiwa UN hanya merupakan salah satu dari sekian banyak contoh yang lainnya. Bagaimana guru bisa menjadi pemimpin dan pamong yang baik kalau kepercayaan terhadap dirinya nyaris hilang sama sekali.
Selamat Hardiknas. q - s. (2851-2011).
*) Prof Dr Ki Supriyoko SDU MPd,
Direktur Pascasarjana UST Yogyakarta dan Murid Ki Hadjar Dewantara.


Tags: