Matematika dan Tantangan Global

Matematika dan Tantangan Global

SABTU, 7 Maret 2015,(Suara Merdeka). Prodi Pendidikan Matematika FKIP UMS menyelenggarakan seminar nasional bertema: Peran Matematika dan Pendidikan Matematika dalam Menghadapi Isu-isu Global. Penentuan tema tersebut didasari kesadaran bahwa ke depan tantangan kehidupan semakin kompleks.

Isu-isu lingkungan, perubahan iklim, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), merupakan sebagian dari isu-isu yang sudah ada di depan mata. Belum lagi kenakalan remaja, pudarnya sopan santun, anarkisme atau tawuran, merupakan permasalahan yang sering menghiasi pemberitaan media.

Pertanyaannya adalah, mengapa Matematika dan pendidikan Matematika perlu memberikan kontribusi untuk mengatasi permasalahan tersebut? Jawaban tegas diberikan oleh Mathematics Association of America, yaitu belajar Matematika harus mendorong peserta didik mampu menerapkan konsep Matematika sederhana untuk menyelesaikan masalah nyata serta mampu mengoneksikan konsep, ide, maupun prosedur Matematika dengan topik-topik dalam Matematika maupun di luar bidang Matematika (MAA, 1998).

Apa yang dinyatakan MAAmenunjukkan esensi dari orang belajar Matematika adalah agar dapat menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan. Inilah tantangan yang harus dihadapi para matematikawan dan pendidik Matematika, yaitu mampu menjadi problem solver atau membuat peserta didik menjadi problem solver.

Hafalan

Pertanyaan berikutnya adalah, sejauh mana peran para matematikawan sebagai problem solver maupun pendidik Matematika mendorong siswa menjadi problem solver?

Penulis meyakini bahwa salah satu indikator untuk menilai sejauh mana kontribusi matematikawan dalam menyelesaikan berbagai masalah kehidupan, adalah seberapa banyak penelitian yang dihasilkan terutama yang telah dipublikasikan, sehingga dapat diakses oleh semua orang.

Mengapa penelitian? Karena hakikatnya penelitian merupakan upaya untuk menyelesaikan masalah, sehingga dengan penelitian, seseorang telah menjadi problem solver.

Selanjutnya, bagaimana dengan pendidikan di sekolah? Kalau kita berkaca dari hasil TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) 2011 ternyata setali tiga uang, artinya kondisi pendidikan di Indonesia juga tertinggal dari negara-negara lain. Dari data TIMMS tampak bahwa kemampuan Matematika siswa kelas VIII Indonesia sekitar 65% pada level very low, 23% level low, 10% intermediate, dan sisanya pada level high. Kemampuan siswa masih terbatas pada hafalan dan penerapan konsep pada permasalahan-permasalahan standar.

Tampaknya pembelajaran Matematika di sekolah atau di perguruan tinggi belum mampu mendorong peserta didik untuk menjadi problem solver. Mayoritas pembelajaran Matematika lebih menekankan pada kemampuan prosedural yang bersifat algoritmik dalam menyelesaikan permasalahan Matematika. Sementara pemahaman konseptual terhadap konsep, prosedur, maupun ide Matematika kurang mendapat perhatian dari pendidik.

Karena itu, ada dua hal yang merupakan tools untuk menghadapi tantangan global, yaitu menggairahkan penelitian di kalangan matematikawan dan mengonstruksi kembali paradigma pembelajaran di kelas dengan mengedepankan pembelajaran yang mendorong siswa agar mampu mengaitkan pengetahuan, untuk menyelesaikan masalah di dalam maupun luar bidang ilmu Matematika, yang dalam bahasa Ausubel disebut dengan pembelajaran bermakna. (37)

— Masduki, dosen Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UMS, mahasiswa S-3 Pendidikan Matematika Unesa


Tags: