Memutus Korupsi Pendidikan

Memutus Korupsi Pendidikan

Wacana (Suara Merdeka) - RENTETAN kasus korupsi pendidikan masih mengakar di Tanah Air. Temuan data Indonesia Corruption Watch (ICW) menegaskan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir tercatat 425 kasus korupsi membelenggu sektor pendidikan. Nilai kerugian yang ditimbulkan mencapai Rp 1,3 triliun. Dari kasus korupsi sektor pendidikan tersebut, Jawa Tengah menempati posisi tertinggi di Indonesia dengan 42 kasus dan total kerugian negara Rp 211,1 miliar.

Korupsi tersebut terjadi dengan berbagai modus. Di antaranya, penggelapan anggaran, penggelembungan anggaran, penyalahgunaan anggaran, pemotongan anggaran, proyek fiktif, laporan fiktif, dan pungutan liar. Sasaran empuk praktik korupsi pendidikan adalah pengelolaan Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan oleh pihak sekolah secara mandiri.

DAK biasanya berupa proyek fiktif dengan anggaran fantastis yang digunakan sebagai bahan untuk mengelabui dinas pendidikan terkait. Misalnya, proyek pembangunan gedung sekolah, perbaikan kelas, penambahan kelas, dan lainnya.

Bahkan, dari 296 kasus korupsi, 28,4 persen kasus korupsi terjadi dalam pengalokasian DAK dan mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 265,1 miliar. Sungguh angka fantastis di tengah upaya untuk mendongkrak mutu pendidikan yang masih terpuruk hingga kini. Selain itu, korupsi anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) juga santer berkeliaran di ranah pendidikan.

Temuan kasus korupsi tersebut mengonfirmasi bahwa korupsi bukan hanya menggerogoti mental elite politik di negeri ini. Ironisnya, korupsi tidak luput menghinggapi praktisi pendidikan seperti guru, kepala sekolah, dan lainnya.

Mereka melakukan tindakan "kotor" yang secara masif mencoreng kredibilitas dunia pendidikan itu sendiri. Alhasil, pendidikan sebagai wadah pencetak generasi berintegritas dan bersih antikorupsi terjebak dalam kubangan budaya korupsi.

Akar Korupsi

Berbagai temuan kasus korupsi pendidikan tersebut seharusnya menjadi alarm bagi dinas pendidikan terkait untuk berbenah diri. Setidaknya terdapat beberapa akar masalah yang berimbas pada maraknya kasus korupsi pendidikan. Secara internal, kasus korupsi yang mengakar pada sektor pendidikan erat kaitannya dengan budaya pragmatis dan kapitalis yang secara masif merongrong mentalitas insan pendidikan.

Budaya kapitalis telah menyeret seseorang untuk melakukan tindakan- tindakan amoral guna memenuhi nalar konsumtif mereka. Dalam pandangan John McMurtry (2009), kapitalisme menjalar seperti kanker yang terus tumbuh untuk menjadikan seseorang ke jurang kematian. Begitu pun mental praktisi pendidikan yang terus dirongrong oleh budaya kapitalisme di tengah gencarnya arus globalisasi.

Inilah yang harus segera dibenahi guna mengembalikan martabat insan pendidikan kita. Secara eksternal, lengahnya pengawasan. Kasus korupsi pendidikan yang tengah mengakar akibat lengahnya pengawasan dinas pendidikan daerah dan pusat dalam memantau DAK dan BOS di sekolah.

Imbasnya, proyek fiktif dan anggaran fiktif yang secara mudah dilakukan oleh pihak sekolah untuk memenuhi kantong pribadi mereka. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk memutus embrio korupsi. Pertama, menggalakkan pendidikan antikorupsi sejak dini. Harapannya, melalui pendidikan antikorupsi sejak dini segera melahirkan generasi yang bersih dan berintegritas tinggi.

Pendidikan antikorupsi dapat diimplementasikan melalui kebijakan kurikulum pendidikan yang berorientasi terhadap pendidikan karakter. Kedua, memperketat pengawasan dinas pendidikan daerah. Otoritas dinas pendidikan daerah harus difungsikan sebagaimana mestinya.

Dinas pendidikan daerah tidak hanya sebatas "menjenguk" sekolah dalam agenda akreditasi semata. Harus ada tinjauan, baik secara langsung maupun tidak untuk mengawasi potensi kecurangan yang dilakukan oleh oknum pendidikan. Khususnya pengelolaan DAK dan BOS yang berpotensi signifikan untuk dikorupsi. Ketiga, komunikasi intensif.

Komunikasi harus dibangun antarsekolah, dinas pendidikan daerah, dan pendidikan pusat. Artinya, pemerintah pusat juga harus ikut berperan serta untuk mengawasi alokasi aliran dana pendidikan bagi sekolah. Pengawasan DAK dan BOS harus dipantau secara ketat agar tepat sasaran. Selain itu, pengawasan langsung terhadap dana pendidikan bagi sekolah tidak serta merta dilimpahkan pada dinas pendidikan daerah.

Agar pengawasan efektif dan efisien, maka pengawasan dapat dilakukan dengan memanfaatkan media digital. Dengan cara tersebut nilai-nilai luhur pendidikan yang telah tercoreng oleh oknum pendidikan dapat dikembalikan kepada khitahnya yaitu melahirkan generasi cerdas, bermoral, dan berintegritas. Semoga!(47)

_ Tri Pujiati, alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Tags: