Menata Pendidikan Tinggi

Menata Pendidikan Tinggi

Jakarta (Suara Karya) Pemerintah tidak mungkin berinvestasi di perguruan tinggi (PT) dengan dana APBN. Karena itu, peran swasta sangat diharapkan untuk memenuhi kekurangan PT di Tanah Air. Untuk merangsang swasta, maka harus ada insentif. Misalnya, PTS yang tak ditopang APBN diberi keleluasaan membuka program-program studi yang diminati masyarakat. Mereka diberi kesempatan luas menjaring mahasiswa mampu yang tak tertampung di perguruan tinggi negeri (PTN).

Pemerintah juga bisa mendorong investasi pendidikan melalui pengurangan pajak pendidikan (tax deductable). Ini menjadi masukan sejumlah PTS dalam rapat-rapat dengan Panja Pendidikan Tinggi DPR.

Dengan begitu, apabila PTS bisa berstandar mutu world class university, calon mahasiswa yang mampu bisa belajar di PT tersebut. Pemerintah juga bisa mengundang PT asing yang terakreditasi, seperti Universitas Oxford Inggris atau Universitas Harvard AS, untuk membuka cabang di Indonesia.

Namun itu tentu dengan catatan: harus ada kontrol kualitas melalui pembentukan semacam Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi. Sebab, meski banyak lembaga pengontrol, selama ini pengawasan--terutama terhadap PTS--kurang efektif.

Misalnya, pengawasan yang dilakukan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) dan Kopertis masih bersifat birokratis. Akibatnya, kualitas PT, yang jumlahnya terus bertambah, tidak terjamin. Apalagi, menurut data, ada sekitar 100-an PTN dan 3.000-an PTS. Dengan demikian, lembaga pengawas birokratis sulit mendapatkan data aktual yang terus berkembang.

Karena itu, dalam rangka menata sistem, meningkatkan otonomi dan mutu pendidikan tinggi, DPR menggagas RUU Pendidikan Tinggi. Legislasi ini akan diajukan dan dibahas Badan Legislasi (Baleg) pada Mei dan siap diparipurnakan pada Juni mendatang sebagai draf RUU inisiatif DPR.

Banyak kemajuan akan diatur dalam UU yang merupakan konsekuensi pembatalan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010. Dibanding UU BHP, legislasi ini jauh lebih solutif. Legislasi ini tidak hanya mengurusi soal tata laksana, tetapi juga mencakup hal-hal mendasar seperti otonomi dan urgensi pendidikan tinggi yang tersebar, terjangkau, dan terjamin mutunya.

UU ini mencarikan jalan keluar bagi masalah angka penyerapan kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia yang hanya 18,7%. APK adalah persentase lulusan SMU atau sederajat yang dapat meneruskan edukasi ke jenjang selanjutnya. Jumlah APK itu tidak mengalami peningkatan signifikan karena pada 2007 tingkat APK kita mencapai 17,26%. Tingkat APK kita tahun 2007 berada di peringkat keempat dari Thailand (42,7%), Malaysia (32,5%), dan Filipina (28,1%).

Memang, rendahnya tingkat APK ke PT lebih disebabkan tingkat kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi. Namun, jumlah kursi yang tersedia di PTN juga sangat terbatas. Daya tampung PTN tahun 2010 saja hanya 82.000 kursi di 57 PTN. Jumlah kursi itu diperebutkan oleh 447.000 calon mahasiswa atau berarti rata-rata 5 orang memperebutkan 1 kursi.

Karena itu, mereka yang tidak tertampung di PTN kemudian menyerbu PTS-PTS yang ada. Sayangnya, kualitas PTS kita tidak semuanya baik. Akibatnya, bisa kita lihat mutu lulusan PT kita. Berdasarkan prediksi Bappenas, sampai 2025, angkatan kerja kita masih akan didominasi oleh tenaga kerja berpendidikan rendah.

Semangat UU ini adalah menyangkut aspek otonomi. Sebab, kita melihat, selama ini PTN berstatus BHMN bisa lebih cepat maju mencapai status universitas kelas dunia. Bukan saatnya lagi pemerintah membuat banyak aturan tentang aspek akademik dan nonakademik PT. Sebab, mereka bisa mengelola sendiri masalah itu. Jadi, bagaimana menjamin otonomi dan mutu PT agar mengembangkan diri menjadi lebih baik, menjadi spirit penyusunan UU ini. ***

Rully Chairul Azwar,
Ketua Panja RUU Pendidikan Tinggi/Wakil Ketua
Komisi X DPR RI


Tags: