Mencermati RUU tentang Perguruan Tinggi

Mencermati RUU tentang Perguruan Tinggi

Perguruan Tinggi sebagai salah satu jenjang pendidikan dalam sistem pendidikan nasional yang bersifat terbuka perlu mendapat perhatian dalam pengaturan penyelenggaraannya, khususnya mengenai sistem pengelolaan perguruan tinggi baik yang diselenggarakan oleh pemerintah (negeri) maupun yang diselenggarakan oleh masyarakat (swasta) agar mampu mewujudkan visi pendidikan nasional. Mencermati Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Perguruan Tinggi yang dikeluarkan tertanggal 25 Januari 2011 yang diprakarsai oleh Komisi X DPR RI dengan maksud menimba pikiran dan pendapat dari masyarakat, terutama kalangan perguruan tinggi tentu merupakan hal yang baik. Karena pasca pembatalan UU No 9 tahun 2009 tentang BHP pada 31 Maret 2009 oleh Mahkamah Konstitusi ternyata berakibat tidak hanya substansi keliru yang tercabut, tetapi berbagai pemikiran yang baik dan benar juga ikut terbuang. Dalam RUU Pendidikan Tinggi tersebut, mengamanatkan bahwa perguruan tinggi memiliki otonomi atau kemandirian untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. Perguruan tinggi juga menentukan kebijakan dan memiliki otonomi dalam mengelola pendidikan di lembaganya. Hal tersebut merupakan dasar hukum yang kuat bagi kemandirian perguruan tinggi dalam menjalankan perannya secara optimal untuk merespons perubahan cepat dalam globalisasi, sehingga daya saing bangsa dan negara yang diperlukan dapat terus ditingkatkan melalui pendidikan tinggi. Pendidikan pada hakikatnya berfungsi sebagai sumber inovasi, kunci sukses kemajuan bangsa melalui upaya-upaya penciptaan keunggulan kompetitif melalui lulusannya yang menguasai ilmu, teknologi dan seni, cerdas, berkarakter, terampil dalam hardskills maupun softskills, serta memiliki kecintaan pada tanah air. Pendidikan merupakan instrumen satu banga untuk melakukan nation and character building. Dengan demikian institusi pendidikan tinggi harus dapat mandiri dan layanan bidang pendidikan tidak boleh diserahkan pada mekanisme pasar. Draft 25 Januari 2011, pp 1 - 2 tersebut dijelaskan, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk: Menguasai pengetahuan dan teknologi sekaligus menyemai nilai-nilai kebangsaan, rasa cinta tanah air, serta universal and national value yang lainnya. Dengan demikian pemerintah harus berani bersikap dan menetapkan bahwa: (1) pendidikan bukan bidang usaha melainkan upaya sosial, politik dan kultural yang dilandasi oleh rasa nasionalisme yang kuat, bersifat universal dan ditujukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa; (2) Pendidikan dasar dan menengah adalah layanan yang merupakan kewajiban pemerintah dan bukan bidang usaha yang perlu diliberalisasi; (3) Usaha meningkatkan mutu pendidikan tinggi harus dilakukan daam kerangka internasionalisasi akses kepada pendidikan tinggi bermutu, melalui kerja sama sosio-kultural yang dilandasi sikap nasionalisme yang kuat, dilakukan secara bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain. Bahwa draft RUU Perguruan Tinggi yang digagas oleh komisi X tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundangan yang selama ini telah berlaku, disamping UUD 1945 dan UU Sisdiknas, perlu diperhatikan juga (1) UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; (2) Peraturan Pemerintah No 37 tahun 2009 tentang Dosen; (3) UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara; (4) Peraturan Pemerintah No 66 Tahun 2010 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan; dan (5) Peraturan Pemerintah No 23 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Dalam draft RUU tersebut, kelembagaan Perguruan Tinggi (PT) dapat berbentuk: (1) Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP) sebagai Perguruan Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah; (2) Perguruan Tinggi Masyarakat sebagai PT yang diselenggarakan oleh Masyarakat (PTM); dan (3) PTP sebagai Unit Pelaksana Teknis Pemerintah (di bawah kementerian lain). Asas pengelolaannya berdasar: kebenaran, keadilan, nirlaba, otonomi, transparansi, akuntabilitas, dan penjaminan mutu. Sebagai masukan lebih baik menggunakan istilah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) seperti yang selama ini sudah dikenal, sedangkan Perguruan Tinggi di bawah Kemente- rian Lain di luar Kemendiknas dimasukkan ke dalam PTN. Mencermati pasal demi pasal, masih minimnya regulasi bagi Perguruan Tinggi Swasta (PTS), hanya terlihat pada Bab VII (pasal 68 s.d 74) maka sebaiknya dimasukkan lagi pasal pasal tentang PTS dikembangkan dan dijabarkan secara lebih rinci seperti yang dilakukan pada PTN. Selain itu masih ada beberapa substansi penting yang belum tercakup dalam RUU Pendidikan Tinggi tersebutí sehingga perlu dicantumkan yaitu prinsip nirlaba. Karena PTS bersifat nirlaba, pemerintah seharusnya tidak mengenakan Pajak Penghasilan Badan pada PTS, bahkan sebaliknya memberi dukungan pembiayaan baik hibah maupun subsidi. Surplus yang dihasilkan oleh PTS tidak boleh dibagikan kepada pendirinya, pada realitanya institusi nirlaba kesulitan membentuk endowment fund, karena dana yang terakumulasi melebihi empat tahun dikenai PPh Badan 25%. Konsep nirlaba memiliki pengertian bahwa institusi tidak boleh membagikan surplus hasil usahanya kepada personalia pendiri dan atau pengurusnya. Dengan demikian, seluruh surplus hasil usaha harus diinvestasikan kembali 100 persen bagi pengembangan institusi. Kepada institusi nirlaba pemerintah melarang tidak boleh adanya semacam pembagian deviden, mestinya pemerintah juga tidak membebani pajak PPh Badan, pajak daerah seperti Pajak Bumi dan Bangunan maupun PPh 23, sehingga tidak ada kesan dalam RUU ini yang diatur hanya PTN saja. Insya Allah UU tentang Perguruan Tinggi ini nasibnya tidak seperti UUBHP. q - s (2841-2011) *) Prof Dr Didit Welly Udjianto MS, Rektor UPN ‘Veteran’ Yogyakarta dan Ketua APTISI Wilayah V DIY.


Tags: