Mengapa Perlu ‘Gender Budget’ di Sekolah?

Mengapa Perlu ‘Gender Budget’ di Sekolah?

Yogya (KR) MENJELANG akhir tahun pelajaran ini saya kembali merasa ketar-ketir. Biasanya, usai hari pertama ujian akan muncul berita, sekian anak tidak mengikuti ujian. Tidak sedikit siswa yang tidak mengikuti ujian sekolah disebut karena hamil. Ironisnya, kehamilan yang membuat tidak mengikuti ujian ini tidak jarang terjadi akibat kehamilan tidak dikehendaki (KTD). Yang lebih memprihatinkan, seringkali anak tersebut tidak mengetahui dirinya hamil. Bahkan tak jarang, kehamilan justru terungkap akibat anak pingsan ketika mengikuti ujian olahraga atau ujian praktik.
Hampir setiap akhir tahun pelajaran, berita seperti itu muncul di media. Berita yang seringkali membuat bulu kuduk berdiri. Bagaimana tidak? Jika dari pemberitaan itu bisa dipastikan bahwa yang tidak datang mengikuti ujian tersebut lebih banyak anak perempuan. Dan mereka masih dalam posisi duduk di bangku akhir SD, SMP ataupun SMA. Yang pasti, di antara mereka sebagian sesungguhnya masih dalam usia anak-anak.
Bila merujuk realita, selalu perempuan menjadi korban bahkan dalam dunia pendidikan termasuk dalam pendidikan formal di sekolah. Sekolah yang merupakan wahana yang sangat cocok menanamkan responsivitas jender sejak dini (Dr Wagirin: ‘Mewujudkan Sekolah Responsif Gender’) ternyata ketika siswinya hamil ‘dikembalikan pada orangtua’ alias ‘wajib’ drop out (DO) lebih dulu dibanding siswa yang menghamili (Budi Wahyuni dalam Fadmi Sustiwi 2008: 2). Akibatnya, tidak sedikit anak perempuan terpaksa putus pendidikan formalnya. Padahal ketika menjadi ibu, kelak semua masalah akan menjadi urusannya. Sebab di dalam dunia yang masih kuat menggenggam ideologi patriarkhi, pola asuh, pemberian gizi, pendidikan dan lainnya, adalah tugas utama bahkan pertama dari seorang perempuan. Sementara di sisi lain komitmen pemerintah (negara) dalam mencapai sasaran pembangunan millennium (MDGs) telah dicanangkan dan negara bertanggung jawab memfasilitasi pencapaian pendidikan dasar bagi anak usia sekolah.
Melihat problem siswa yang luar biasa kompleksnya, sangat diperlukan strategi untuk mengintegrasikan isu-isu jender ke dalam proses penganggaran sekaligus menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan jender ke dalam komitmen anggaran. Apalagi selain KTD, masih ditemui pelbagai kasus seperti adanya anak-anak cacingan, anemia, gizi buruk, korban kekerasan dan lainnya.
Strategi anggaran yang disebut anggaran responsif jender ini merupakan anggaran yang responsif terhadap kebutuhan perempuan dan laki-laki serta memberikan dampak/manfaat yang setara bagi perempuan dan laki-laki. Sehingga, anggaran responsif jender bukanlah anggaran yang terpisah bagi laki-laki dan perempuan. Pengintegrasian strategi ini perlu dilakukan mengingat selain sebagai wahana yang sangat cocok untuk menanamkan responsivitas jender sejak dini, sekolah juga merupakan tempat potensial terjadinya bias jender.
Memanfaatkan UKS
Banyaknya problem yang dihadapi anak usia sekolah khususnya perempuan, maka gender budget perlu menjadi pertimbangan bagi kepala sekolah dan tim yang ada, sebagai pengambil keputusan di institusinya. Dengan demikian, sekolah bisa merumuskan kegiatan terkait kebijakan anggaran yang responsif jender (ARG). Di sini bukan berarti anggaran tersebut dibuat 50% untuk lelaki dan 50% untuk perempuan. Bahkan bila dikaitkan dengan dunia pendidikan, ARG tidak semata-mata harus ditunjukkan/diintegrasikan semata dalam kurikulum.
Dengan kasus di awal tulisan, sesungguhnya anggaran responsif jender bisa diintegrasikan lewat kegiatan UKS, Unit Kesehatan Sekolah yang ada di setiap jenjang sekolah mulai SD. Sehingga UKS tidak sekadar sebagai tempat P3K, Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan dan menjadi tempat istirahat misal ada yang sakit termasuk sakit karena menstruasi. Namun lewat UKS, kepala sekolah bisa mengarahkan dan memaksimalkan potensi guru Bimbingan Penyuluhan (BP) untuk memberikan pelatihan dan pendidikan kesetaraan jender serta kesehatan reproduksi pada anak didiknya. Kegiatan yang selama ini ditiadakan dengan dalih tidak ada dana.
Mengapa pelatihan/pendidikan kesetaraan jender dan kesehatan reproduksi menjadi penting diberikan di sekolah lewat UKS? Pertama, dalam hal pendidikan kesetaraan. Pendidikan mengenai relasi setara laki-laki perempuan selama ini masih sangat minim diberikan. Akibatnya, sekolah yang merupakan wahana yang sangat cocok menanamkan responsivitas jender sejak dini seringkali justru merupakan tempat potensial terjadinya bias jender. Di dalam dunia yang masih kuat ideologi patriarkhi, fenomena ini menjadikan kenyataan ketika perempuan selalu dikorbankan dengan mengatasnamakan apa saja, mulai keyakinan, pendidikan, moralitas, politik, idelogi dan lainnya. Kedua, pendidikan/pelatihan kesehatan reproduksi adalah hal yang mutlak diberikan di sekolah. Mengingat minimnya informasi dan ketidakmengertian akan masalah kesehatan reproduksi bisa berakibat fatal. Tidak sekadar membuat anak bertanya-tanya dan mencari-cari untuk mendapatkan informasi yang seringkali justru didapat tidak tepat. Informasi kesehatan reproduksi yang salah akan berdampak sangat berbahaya bagi masa depan seseorang. Informasi yang tidak tepat bisa membuatnya melakukan aktivitas seksual yang tidak sehat. Jika ini terjadi, akibatnya tidak sekadar KTD yang akan dihadapi, namun juga kemungkinan berinvestasi kanker serviks, tertular infeksi menular seksual (IMS) hingga HIV/AIDS. q - c (2658-2011)
*) Fadmi Sustiwi, wartawan SKH Kedaulatan Rakyat, pemerhati masalah kesetaraan. Kerja Sama Pokja Pendidikan PUG DIY - KR.


Tags: