Menjawab Tantangan Presiden Jokowi

Menjawab Tantangan Presiden Jokowi

Salah satu wujud janji Presiden Joko Widodo sebagaimana tertuang dalam butir ketiga nawa cita adalah pembangunan infrastruktur dalam rangka pemerataan ekonomi yang berkeadilan. Presiden menyadari bahwa infrastruktur adalah fondasi bangsa untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Dalam hal pembangunan di daerah pinggiran, daerah perbatasan, daerah tersisolir dan pulau-pulau terluar Presiden menunjuk Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai pelaksana. Selain untuk pemerataan ekonomi, pembangunan di lokasi tersebut diarahkan untuk memperkuat program pemerintah terkait ketahanan pangan, energi dan konektivitas antar daerah. Alokasi anggaran pembangunan untuk kawasan perbatasan tahun 2015 sebesar 10,71 triliun dan angka ini melonjak menjadi 28,52 triliun di 2018. Secara nasional anggaran untuk infrastruktur juga menunjukan trend serupa, jika di tahun 2015 tercatat sekitar 290 triliun maka angka ini merangkak naik menjadi sekitar 410 triliun di 2018 atau bertambah sebesar 41% dibandingkan tahun 2015.

Tahun 2017 disebut Presiden sebagai tahun kerja bersama (melalui pembangunan) untuk pemerataan ekonomi. Namun di tahun 2018 ini Presiden mencetuskan tantangan yang berbeda. Tantangan tersebut adalah percepatan dan pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. "Untuk menjadi negara maju tidak lagi bisa mengandalkan sumber daya alam (SDA)", demikian ungkap Presiden (Koran Sindo, 28/12/2017). Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di tahun 2015 menempati ranking ke-133 dari 188 negara. Sedangkan Bank Indonesia (BI) merilis data sebagaimana diungkapkan oleh Agus Martowardojo bahwa pelaksanaan reformasi struktural yang dilakukan pemerintah di bidang SDM dan riset baru mencapai angka 35% dari benchmark yang ditentukan, sedangkan di bidang inovasi baru di kisaran angka 38%. Diperkirakan tahun 2040 Indonesia memiliki 195 juta (60%) penduduk usia produktif. Jika bonus demografi ini dapat dimanfaatkan dikombinasikan dengan dukungan infrastruktur yang memadai maka tidaklah mustahil Indonesia akan keluar dari middle income trap dan bermetamorfosis menjadi negara maju. Prediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2018 yang mencapai kisaran 5,1-5,5% serta di tahun 2022 dengan prediksi 5,8-6,2% sebagaimana dituturkan oleh Gubernur Bank Indonesia sangat mungkin untuk dilampaui.

Momentum yang diingatkan Presiden ini harus bisa diambil dan dimanfaatkan. Namun pertanyaan klasik selanjutnya adalah Bagaimana cara menciptakan atau di mana tempat menyiapkan SDM unggul?. Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Islam mencetuskan visi mencetak SDM berkualitas, SDM yang tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga mampu mengintegrasikan antara ilmu agama, ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mendukung visi tersebut, Ditjen Pendidikan Islam terus berbenah. Reformasi birokrasi dilakukan tidak hanya di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam sebagai penanggungjawab utama penyelenggaraan pendidikan Islam namun juga pada lembaga pendidikan Islam itu sendiri. Salah satu buah manis keberhasilan reformasi tersebut adalah suksesnya penyelenggaraan International Islamic Education Expo (IIEE) pada tanggal 21 s/d 24 November 2017. Partisipan ajang IIEE ini diantaranya adalah lembaga penyelenggara pendidikan Islam Internasional dari Amerika, Eropa dan Timur Tengah. Khusus kegiatan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) sebagai salah satu rangkaian acara IIEE, sekitar 400 intelektual nasional dan internasional mempresentasikan temuan atas hasil penelitiannya. Pencapaian lain adalah diraihnya penilaian Indeks Kualitas Pelayanan (IKP) dan Indeks Persepsi Anti Korupsi (IPAK) yang masuk dalam kategori "sangat baik".

Hasil reformasi dan tranformasi lembaga pendidikan Islam membuahkan hasil dengan meningkatnya kepercayaan para orang tua siswa. Hal ini terlihat dari terus menanjaknya angka partisipasi kasar (APK) dan jumlah siswa yang belajar. Jumlah peserta didik di madrasah baik dari jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga Madrasah Tsanawiyah (MTs) rerata per tahun mengalami kenaikan sekitar 100.000 siswa. Sedangkan untuk tingkat Madrasah Aliyah (MA) dan Perguruan Tinggi Islam (PTKI) terdapat penambahan jumlah siswa/mahasiswa sekitar 40.000 per tahun. Contoh lain keberhasilan lembaga pendidikan Islam adalah meningkatnya jumlah madrasah yang berhasil meraih status akreditasi A. Data Education Management Information System (EMIS)-Ditjen Pendis mencatat bahwa sejak 2011-2016 terdapat 1.619 Madrasah Ibtidaiyah (MI) berhasil meraih akreditasi A atau rerata 325 MI per tahun. Untuk Jenjang MTs dan MA berturut-turut rerata per tahun 400 dan 120 lembaga berhasil meraih akreditasi A. Di tingkat individu, sudah puluhan peserta didik lembaga pendidikan Islam mengukir prestasi baik di gelaran ajang nasional maupun internasional. Terbaru di tahun 2017 dalam ajang International Young Invention Award (IYIA) di Singapura, International Islamic School Robot Olympiad (IISRO) di Jepang dan Internasional First Global Challenge Olympic Robot di Amerika siswa madrasah berhasil mengharumkan nama Indonesia.

Seorang Ilmuwan besar lebih dari seabad yang lalu mengatakan "ilmu tanpa agama akan buta, agama tanpa ilmu akan lumpuh". Pendidikan Islam memberikan jawaban tegas atas peringatan ini. Mengapa? Karena Pendidikan Islam sebagaimana diutarakan sebelumnya akan melahirkan kader-kader generasi penerus bangsa yang tidak hanya mumpuni dalam hal ilmu agama, sains dan teknologi tetapi juga menjadi generasi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasar sederet fakta akan prestasi yang telah dicapai oleh lembaga dan peserta didiknya, maka tidaklah berlebihan kiranya jika Pendidikan Islam adalah jawaban atas tantangan Presiden Jokowi.

Doni Wibowo
Alumnus Magister Ilmu Ekonomi
Universitas Indonesia


Tags: