Misi Strategis Pendidikan Islam dalam Globalisme

Misi Strategis Pendidikan Islam dalam Globalisme

Dalam buku Asean Miracle: A Catalyst for Peace (2017), Kishore Mahbubani menggambarkan dengan lugas bahwa saat ini masyarakat Barat sangat pesimis dalam prospek hubungan dengan Islam. Hal ini setidaknya terlihat dengan jelas dalam upaya Donald J Trump meraih kursi kepresidenan Amerika Serikat. Trump habis-habisan mengeksploitasi pesimisme ini dengan menawarkan "penghentian total kedatangan orang Muslim ke Amerika Serikat". Seluruh dunia mengecam Trump tentu saja. Tapi sejarah mencatat Trump tetap terpilih sebagai Presiden Amerika. Orang boleh saja menilai jargon pesimisme dan antipati terhadap muslim dan Islam tersebut sebagai gimmick kampanye politik menuju kursi kepresidenan dan pada akhirnya akan menghilang dengan sendirinya seusai pemenang kontestasi presiden itu disahkan. Tapi proses kemenangan Trump menegaskan satu hal mendasar bahwa saat ini bawah sadar masyarakat Amerika terlihat jelas memiliki kekhawatiran besar terhadap entitas Islam. Trump mengelola dengan tepat bawah sadar masyarakat Amerika sekaligus menunjukkan pada dunia bahwa di tengah masyarakat yang seterbuka Amerika, dengan segala klaim perangkat canggih demokrasinya, Amerika perlu membangun dinding pembatas dan demarkasi yang cenderung bengis terhadap Islam.

Antipati Trump terhadap Islam secara umum menjadi langgam pandangan pemikir Barat saat ini. Tidak mudah menemukan semangat optimisme masyarakat Barat terhadap prospek hubungan dengan Islam dewasa ini, terlebih dinamika dan eskalasi problem politik yang menyeret-nyeret sentimen Islam terus bergejolak di Timur Tengah. Dalam sketsa konflik moderen, sentimen gejolak masalah tersebut bahkan dikhawatirkan memicu proxy war yang bisa sangat eskalatif: Suriah yang didukung Rusia dan Iran akan berhadapan dengan Amerika dan kawan-kawan. Pada titik ini pandangan pesimistik tersebut seperti menemukan justifikasi terbaiknya.

Pada perkembangannya, sentimen pesimistik ini juga memicu problem identitas nasionalisme di berbagai belahan dunia. Banyak negara merasa perlu sedemikian rupa meyakinkan diri terhadap identitas nasionalismenya di tengah menguatnya konflik di berbagai negara dan sentimen ideologi yang menguji nalar berbangsa dan bernegara dalam berbagai bentuknya. Tersebutlah Inggris dengan problem brexitnya, Amerika dengan Make America Great Again, atau juga Turki yang seperti ingin mengulang jargon Ustmaniyah dalam menghadapi, atau tepatnya menghabisi Kurdi. Problem identitas nasionalisme seperti ini dalam banyak hal mendorong negara-negara tersebut berlomba-lomba membangun kompartemen geopolitik yang mendorong pandangan dan aksentuasi untuk saling memisahkan.

Di titik perbincangan inilah ASEAN (Association of South East Asia Nations) terasa menjadi pembeda. Di tengah penilaian Barat bahwa ASEAN tidak memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perdamain dunia, ASEAN menunjukkan bahwa penilaian itu salah. ASEAN mengembangkan sendiri filosofi dan promosi perdamaian yang telah mendarah daging dalam dirinya dan seyogyanya mampu menjadi inspirasi perdamaian dunia. Berbeda dengan Uni Eropa dan Amerika yang cenderung mengembangkan pesimisme terutama dalam diplomasinya dengan Islam, negara-negara di kawasan ASEAN menunjukkan diri sebagai kawasan yang dapat hidup tenteram di tengah berbagai perbedaan suku, ras dan agama yang demikian besar. Hal ini karena Asia Tenggara telah menjalani status sebagai persimpangan jalan dunia selama lebih dari dua ribu tahun.

Masih dalam pandangan Mahbubani, dalam rentang sejarah sekian lama itu, kawasan ini telah mengalami milestone berupa empat gelombang penting: gelombang India, China, Muslim, dan Barat. Berbagai gelombang tersebut pada akhirnya mematangkan kawasan ini sebagai sebuah wilayah yang guyub dan selalu menemukan titik penyeimbang jika ditemukan masalah kawasan. Wilayah ini dipercaya menyediakan sebuah laboratorium hidup untuk koeksistensi peradaban yang damai. Keguyuban ASEAN ini terlihat jelas dalam perannya selaku katalis dalam konflik Laut China Selatan, misalnya. Di tengah ego negara yang akan menjadi terbesar di dunia (China), dan negara terbesar di dunia (AS), atau negara yang tengah berkonflik dengan China (Jepang, Vietnam, Filipina) ASEAN selalu menyediakan ruang yang kondusif agar kekuatan-kekuatan tersebut mau berbicara satu sama lain. Sebuah kultur damai diyakini telah berkembang sebagai penerapan budaya "musyawarah" dan "mufakat".

Musyawarah dan mufakat adalah nilai-nilai dasar masyarakat Indonesia. Ini adalah modal penting Indonesia sebagai pemimpin dalam demokrasi di dunia Islam. Sebagai sebuah negara demokrasi yang paling sukses di dunia Islam, Indonesia dengan sendirinya memperkuat Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan perdamaian, disamping berbagai kiprah Indonesia dalam perdamaian dunia. Indonesai tampil sebagai promotor perdamaian dunia di tengah berbagai konflik horizontal di berbagai belahan dunia. Indonesia juga mampu menjadi jawaban atas sinisme kemungkinan terjadinya benturan peradaban dunia. Hal ini bisa ditunjukkan diantaranya jika Indonesia mampu mengambil peran penting untuk mendorong masyarakat muslim di Asia Tenggara--yang hampir sama banyak dengan penduduk dunia Arab--dapat hidup dengan damai bersama tetangga-tetangga yang bukan muslim dan terus ikut serta dalam mendukung kemajuan ekonomi, sosial dan budaya.

Pendidikan Islam sebagai Destinasi Pendidikan Islam Dunia
Destinasi merujuk pada makna sebuah tempat yang dituju banyak orang dengan alasan tertentu. Dengan alasan spesifik banyak orang rela dan memutuskan diri untuk menuju tempat yang diyakininya menjadi tujuan akhir dari kehendak yang dipunya. Dalam berbagai kesempatan, Ditjen Pendidikan Islam meyakini dan bertekad bahwa Indonesia adalah destinasi terbaik pendidikan Islam dunia. Pendidikan Islam Indonesia berada di garis terdepan dalam menawarkan platform dan spektrum pendidikan Islam dunia.

Hal ini dilandasi beberapa hal mendasar. Pertama, Indonesia adalah negara yang paling otoritatif dalam berbicara menganai Islam. Dalam lanskap demogarafis yang sangat strategis, Indonesia bukan hanya merupakan negara Islam terbesar di dunia, tapi juga negara dengan lembaga pendidikan Islam terbesar di dunia. Tidak ada negara lain yang memiliki jumlah lembaga pendidikan Islam terbanyak selain Indonesia. Dalam kondisi demikian, seluruh lembaga pendidikan Islam dalam binaan Ditjen Pendidikan Islam bersama-sama mengajarkan corak Islam rahmatan lil alamin. Kedua, kompatibilitas Islam Indonesia dengan modernitas dan demokrasi. Indonesia didukung perangkat kelembagaan Islam terbesar di dunia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, yang mengusung moderatisme yang berjalan seiring dan sejalan dengan arus modernisme dan demokrasi. Pendidikan Islam berada dalam konteks besar negara bangsa yang memiliki kepercayaan diri yang besar sebagai entitas yang didukung oleh keberagaman agama, budaya, etnis dan lain sebagainya. Keberagaman tersebut nyatanya tetap kokoh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam kaitan ini, penting kiranya Ditjen Pendidikan Islam meneguhkan diri untuk menjadi bagian terdepan dari upaya untuk menjaga keharmonisan tersebut. Ditjen Pendidikan Islam harus berkomitmen untuk terus mengembangkan nilai-nilai moderasi Islam yang rahmatan lil alamin. Hal ini menjadi penting karena dalam agenda kebangsaan global dewasa ini, nilai-nilai harmoni dalam masyarakat mendapat tantangan serius dan terus berada dalam ancaman disharmoni dalam rupa-rupa bentuk pertikaian, perselisihan, radikalisme, berbagai pembangkangan sosial yang memicu retaknya kohesi berbangsa dan bernegara. Situasi demikian dalam banyak hal menjadikan pendidikan Islam dalam konteks global seperti kehilangan kiblat dan pendulum. Masyarakat dunia seperti diajukan pertanyaan baru untuk mencari dimana sesungguhnya kiblat pendidikan Islam bisa ditemukan.

Jika Pendidikan Islam pada dasarnya mengajarkan segala nilai perdamaian, lalu mengapa Timur Tengah selalu bergejolak karena perang sebagai antitesa nilai-nilai perdamaian? Pertanyaan ini mungkin simplistis jika hanya dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan Islam, karena perang dan konflik kawasan adalah akumulasi berbagai faktor sosial, politik, budaya, bahkan dalam beberapa hal membawa sentimen rasial. Namun jika kita menyadari bahwa kosntruksi peradaban banyak sekali membutuhkan pendidikan sebagai penyokongnya, maka sesuggguhnya peradaban dan tata nilai di dalmnya turut berperan dalam mendefinisikan lingkungan sosial budaya yang menjadi konteks berkembangnya.

Dengan kata lain, dalam konteks performa nilai-nilai pendidikan yang menyokong berkembangnya budaya dan peradaban, Timur Tengah mengalami masalah yang sangat serius. Tidak mudah untuk menjadikan nilai-nilai pendidikan Islam yang dikembangkan pada wilayah tersebut sebagai teladan karena riuhnya konflik yang berkepanjangan. Tidak ditemukan promosi perdamaian yang langgeng dan berkelanjutan. Sebaliknya, pendidikan Islam di Indonesia adalah sepenuhnya berada dalam upaya mendorong terciptanya nilai nilai rahmatan lil alamin dalam masyarakat. Kontribusi, dampak dan eskalasi nilai rahmatan lil alamin ini begitu mudah ditemukan di Indonesia. Dengan demikian, di tengah kebingungan global dalam konteks identifikasi kiblat Pendidikan Islam dunia, pendidikan Islam Indonesia menempati posisi terdepan dalam meraih kesempatan tersebut. Hal ini perlu didukung dan dikembangkan lebih lanjut ke dalam sebuah transformasi kelembagaan yang mampu merespon tantangan global sekaligus meningkatkan layanan dan pembinaan warga pendidikan Islam Indonesia.

Saiful Maarif
(Bekerja pada Bag OKH Ditjen Pendidikan Islam)


Tags: