Pembelajaran Bahasa Indonesia Mendesak ; ntuk Diperbaiki

Pembelajaran Bahasa Indonesia Mendesak ; ntuk Diperbaiki

Bahasa menunjukkan suatu bangsa. Tingkat kemajuan bangsa dapat ditinjau dari bahasa tersebut hidup dan menjadi semangat kehidupan masyarakat. Bangsa-bangsa modern memegang teguh bahasa asli (bahasa ibu) sebagai bahasa yang diperlakukan secara konstektual. Kemajuan suatu negara ditentukan dari kultur bahasa (literasi) masyarakatnya. Sekarang bahasa Indonesia mengalami krisis. Salah satu penyebabnya ialah minimnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Maka Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) bakal meningkatkan kompetensi guru dalam mengajar mata pelajaran (Mapel) Bahasa Indonesia. Hal itu dikarenakan pada pelaksanaan ujian nasional (UN) lalu, mapel Bahasa Indonesia menjadi salah satu mapel, yang tingkat ketidaklulusannya tinggi (KR, 23/8/2011). Sosok guru diharapkan memiliki peran dan tanggung jawab keteladanan dalam profesinya. Menurut survei di lapangan, guru-guru mata pelajaran Bahasa Indonesia mengikuti lomba essay Balai Kajian Bahasa Indonesia Yogyakarta hanya sedikit. Dari 5.000 guru mata pelajaran bahasa Indonesia di DIY yang ikut hanya 38. Ini berarti kualitas kompetensi kepribadian dan profesionalnya rendah. Berbagai sumber menyebutkan cara mengajar kurang menarik dan membosankan. Menurut data Kemdikbud sebanyak 2.391 siswa hanya mampu mencapai nilai matematika kurang dari 4, sementara 1.786 siswa dalam mapel Bahasa Indonesia di bawah 4, meskipun nilai rerata UN=5,5.
Mengapa nilai UN Bahasa Indonesia memprihatinkan? Menurut dugaan, beberapa faktor yang menyebabkan Bahasa Indonesia menjadi mapel sulit adalah sebagai berikut.
Pertama, metode guru kurang kreatif dan tidak menarik. Kedua, bentuk soal ujian nasional dibuat dalam bentuk cerita, padahal kebiasaan gemar membaca tidak ditanamkan sejak dini, maka peserta didik kurang cermat, jeli dan teliti sehingga hasil nilainya kurang optimal.
Ketiga, pada tahun 2010 disebutkan bahwa sebanyak 73% ketidaklulusan siswa SMA/MA/ SMK disebabkan tidak lulus pelajaran bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia tidak lagi diakrabi siswa sebagai pelajaran yang bergengsi karena sifatnya sebagai alat komunikasi sehari-hari serta pelajaran bahasa Indonesia sekadar kumpulan perbendaharaan kata untuk menghasilkan kalimat yang sesuai ejaan yang disempurnakan (EYD), tapi gagal menyentuh aspek psikologis siswa.
Keempat, adanya krisis bahasa Indonesia, yang kini diajarkan di sekolah berkonstribusi terhadap laku berbahasa Indonesia saat ini tampaknya belum memberikan pengaruh berarti terhadap perkembangan kebahasaan peserta didik.
Kelima, dalam buku pelajaran bahasa Indonesia hadir dengan rumus-rumus membuat kalimat yang benar, deretan kata baku-tak baku, dan hal-hal lain yang bersifat teknis. Oleh karenanya Bahasa Indonesia laksana kumpulan rumus eksakta linguistik dan hafalan nama sastrawan dan karyanya, tetapi tak merangsang apresiasi siswa terhadap karya sastra.
Keenam, kurikulum pelajaran bahasa Indonesia sebagai bahasa yang sarat dengan aturan-aturan. Ketujuh, di era Orde Baru bahasa tak pernah lepas dari keterkaitannya dengan kekuasaan yang beroperasi dibaliknya dan kurikulum pelajaran bahasa Indonesia menjadi kepanjangan tangan untuk mendoktrin peserta didik agar tunduk pada penguasa.
Kedelapan, peserta didik lumpuh untuk menulis surat-menyurat melalui pos diganti sms yang merusak norma-norma dalam kebahasaan.
Singkat kata, membangun masyarakat dengan budaya keberaksaraan menjadikan bahasa sebagai entitas utama, yang diimbangi dengan membaca dan menulis. q - g. (204 A-2012).
*) Drs Anton Eknathon MHum,
Pemerhati Sosial dan Pendidikan,
Laskar Pendidikan Tanpa Batas.


Tags: