Pendidikan Agama Menangkal Radikalisme

Pendidikan Agama Menangkal Radikalisme

WACANA (Suara Merdeka) - SETELAH kasus teror bom beberapa tahun lalu, awal 2016 aksi teror kembali mengguncang kota Jakarta. Peledakan bom bunuh diri yang terjadi di Jl MH Thamrin, tepatnya di depan Gedung Sarinah dan Kedai Kopi Starbucks mangindikasi bahwa terorisme menjadi ancaman serius yang kembali menghantui ketentraman dan kesejahteraan publik. Alhasil, Peledakan bom tersebut mengakibatkan tujuh nyawa melayang dan puluhan lainnya luka-luka (14/10). Tidak dapat dimungkiri, terjadinya aksi teror kerap menyeret ideologi keagamaan yang diusung di dalamnya, namun apapun alibi yang digunakan terorisme merupakan tindakan keji yang tidak dapat ditoleransi oleh siapa saja, termasuk agama itu sendiri. Pasalnya, semua agama menghendaki perdamaian antarmanusia bukan tindakan kekerasan dan pembunuhan yang merajalela. Sehingga, aksi teror dan terorisme harus segera dihentikan dari peredarannya. Teror pernah menghantui hampir seluruh negara di dunia. Aksi teror dan terorisme bukan sebuah tren baru. Banyak negara yang menelan pahitnya aksi teror, misalnya pernah terjadi aksi penembakan di sebuah sekolah di Finlandia yang menewaskan 8 siswa yang belakangan diketahui bahwa pelakunya adalah salah satu siswa di sekolah itu sendiri. Selain itu, kasus Breivik yang meledakkan sebuah bom dekat gedung pemerintah di Oslo, Norwegia, serta menembak mati 69 orang di tengah acara perkemahan pemuda. Ditambah dengan kasus penembakan di sebuah gereja di Amerika. Atau, sekelompok radikal menembaki siswa di sebuah sekolah di Pakistan, dan teror Paris yang menghebohkan di tahun 2015. Adapun di tanah air, beberapa tahun yang lalu juga pernah terjadi kasus teror bom di ITC Depok, Jawa Barat (Siroj, 2015). Selain itu, kasus bom di depan Kedutaan Australia pada 2004 dan bom di Kuningan pada tahun 2000 juga bisa menjadi referensi terorisme di tanah air. Berdasarkan data tersebut, aksi teror memberikan pemahaman bahwa teror mudah dilakukan oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun. Pelaku, model dan motif teror sangat beragam, namun yang paling masyhur, motif teror kerap dilatarbelakangi oleh kelompok kepentingan tertentu yang ingin memecah belah kesatuan bangsa dengan mengatasnamakan ideologi. Selain itu, dewasa ini aksi teror justru disinyalir bangkit dari budaya kapitalisme yang terus menggerogoti mentalitas generasi modern sehingga, aksi teror dilakukan untuk mengeruk keuntungan pribadi. Pendidikan Agama Jika ditinjau dalam perspektif pendidikan, cikal bakal lahirnya seseorang atau kelompok teroris merupakan akibat dari kegagalan sistem pendidikan yang tidak dapat melahirkan generasi-generasi yang memiliki nasionalisme dan menjunjung tinggi sikap toleransi. Terlebih lagi, terorisme kerap muncul akibat mandulnya implementasi pendidikan agama. Transformasi perilaku keagamaan hanya berkutat pada materi pelajaran semata, sedangkan implementasi dari sikap keagamaan yang baik dan benar tidak tertanam kuat pada jiwa individu. Alhasil, pendidikan agama yang diharapkan mampu menjadi pelentur bagi doktrin-doktrin agama yang masih bersifat ekslusif dan kaku justru mempertontonkan sebuah hasil yang tidak memuaskan, bahkan mengecewakan. Pasalnya, hingga sekarang terorisme masih merajalela di mana-mana. Mandulnya implementasi pendidikan agama tidak terlepas dari sistem pendidikan yang ada di dalamnya, khususnya pada bangunan kurikulum yang mnenaunginya. Akibatnya, kesenjangan tersebut berujung pada lahirnya generasi teroris juga tidak terlepas dari tanggung jawab atas sikap dan perilaku seorang pendidik. Potret guru agama menjadi cerminan sejauh mana kesuksesan pendidikan agama yang ditransformasikannya. Sungguh ironis, itikad baik sebagai guru agama acap kali disalahgunakan dengan melakukan tindakan-tindakan yang jauh dari nilai-nilai luhur keagamaan yang ditanamkan kepada peserta didik. Seperti, kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru di sebuah sekolah yang melakukan tindak kekerasan dengan melempar sepatu kepada peserta didiknya. Selain itu, masih banyak kasus lainnya yang tidak pantas dilakukan oleh siapa saja, terlebih lagi guru agama sebagai figur guru yang seharusnya berbudi luhur. Dengan demikian, untuk mewujudkan generasi anti terorisme dan memutus embrio teroris, maka pendidikan agama harus ditransformasikan sebagaimana mestinya. Kasus teror yang terjadi di Jl. MH Thamrin menjadi catatan bagi pendidikan agama di tengahtengah gencarnya arus modernitas yang secara cepat memantik agresifitas seseorang untuk melakukan tindakantindakan radikal yang mengatasnamakan klaim kebenaran agama masingmasing. Namun, solusi persoalan tersebut tidak sepenuhnya kita limpahkan pada praktisi pendidikan semata, pemangku kebijakan dan semua pihak harus bersinergi memberantas terorisme secara masif. Singkat kata, implementasi dan transformasi pendidikan agama secara baik dan benar dinantikan guna melahirkan generasi bangsa yang toleran bukan teroris.(50)


Tags: