Pendidikan Antara Komoditas dan HAM ===> Oleh : Triyana Yohanes

Pendidikan Antara Komoditas dan HAM ===> Oleh : Triyana Yohanes

Yogya (KR) Di tengah perayaan Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2011 ini, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai persoalan antara lain menyangkut kontroversi apakah pendidikan harus dipandang sebagai komoditas atau sebagai Hak Asasi Manusia (HAM). Konsekuensi jika pendidikan dipandang sebagai komoditas adalah pendidikan akan melayani mereka yang mampu membayar, sehingga yang miskin tak akan mampu meraih pendidikan semaksimal mungkin meskipun memiliki kemampuan akademik tinggi. Sedangkan jika pendidikan dipandang sebagai HAM, maka setiap warga negara Indonesia berhak atas pendidikan sesuai kemampuan akademisnya, biarpun miskin secara ekonomis.
Pemerintah Indonesia sendiri telah memasukkan jasa pendidikan sebagai komoditas yang diperdagangkan di bawah the General Agreement on Trade in Services (GATS), salah satu persetujuan WTO. Indonesia setuju terikat pada hasil perundingan perdagangan jasa yang ditandatangani bulan Mei tahun 2005 yang mengatur liberalisasi perdagangan 12 sektor jasa, termasuk sektor pendidikan. Kemudian pada tahun 2007 dikeluarkan Peraturan Presiden Nomor 77 yang menetapkan bidang jasa pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi dan pendidikan non-formal sebagai bidang usaha yang terbuka bagi modal asing dengan persyaratan maximum modal asing sebesar 49 persen.
Alasan yang sering dikemukakan Pemerintah untuk memasukkan sektor pendidikan sebagai jasa yang diperdagangkan di bawah GATS antara lain : pertama, untuk menghemat devisa, karena sampai saat ini banyak orang kaya di Indonesia menyekolahkan anaknya ke luar negeri karena pendidikan di Indonesia dinilai kurang bermutu, kedua, untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui kerja sama dengan penyelenggara pendidikan asing (negara maju), pendidikan di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan kualitasnya sejajar dengan pendidikan luar negeri.
Banyak elemen masyarakat menolak kebijakan pemerintah yang memasukkan pendidikan sebagai sektor jasa yang diperdagangkan secara bebas. Perdagangan bebas (liberalisasi) jasa pendidikan akan menyebabkan perubahan mendasar pada tujuan pendidikan nasional Indonesia. Pendidikan berubah menjadi komoditas ekonomi yang bersifat komersial dan bukan lagi sebagai kegiatan pelaksanaan amanat konstitusional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk manusia Indonesia yang berbudaya, beradab dan bermoral.
Di samping itu, liberalisasi jasa pendidikan akan membuka masuknya penyelenggara jasa pendidikan asing ke Indonesia, sehingga dapat menyingkirkan para penyelenggara pendidikan lokal (domestik) karena kalah bersaing. Karena memiliki teknologi yang lebih maju, sumber daya manusia yang lebih baik dan kualitas yang lebih baik, dapat diprediksikan konsumen di Indonesia akan lebih memilih pendidikan yang diselenggarakan penyelenggara pendidikan dari negara-negara maju. Dengan demikian secara ekonomis liberalisasi jasa pendidikan hanya akan menguntungkan negara-negara maju.
Alasan lain adalah di Indonesia pendidikan harus dipandang sebagai layanan publik. Pemerintah bertanggung jawab atas terselenggaranya pendidikan bagi warga negara Indonesia. Ketentuan dalam berbagai peraturan perundangan seperti Pasal 28 C ayat 1 UUD 1945, Pasal 12 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM dan pasal 5 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional menentukan bahwa pendidikan merupakan hak dari seluruh warga negara Indonesia (HAM) yang harus dipenuhi Pemerintah.
Oleh karena itu, meskipun perdagangan bebas (liberalisasi) jasa pendidikan telah terjadi di Indonesia, diperlukan adanya upaya-upaya protektif guna melindungi penyelenggara pendidikan domestik, khususnya penyelenggara pendidikan swasta kecil dan bermodal lemah. Agar liberalisasi jasa pendidikan tidak merugikan Indonesia, maka pelaksanaannya-pun harus dilakukan hati-hati dengan memanfaatkan berbagai fleksibilitas GATS dan pengaturan special treatment bagi negara-negara sedang berkembang.
Dalam hal perdagangan jasa di bawah GATS, beberapa prinsip WTO tidak diberlakukan secara ketat seperti halnya dalam perdagangan barang. Misalnya prinsip national treatment yang mengharuskan para anggota WTO memperlakukan secara sama antara produk domestik dengan produk import, dalam perdagangan jasa para anggota WTO dapat melakukan tindakan diskriminatif untuk keuntungan perusahaan domestik.
Berbagai fleksibilitas dan ketentuan WTO yang dimaksudkan untuk melindungi kepentingan negara-negara sedang berkembang anggota WTO tersebut harus dimanfaatkan pemerintah Indonesia dalam melaksanakan liberalisasi jasa pendidikan. Pemerintah Indonesia dituntut membuat kebijakan-kebijakan protektif yang dibolehkan GATS untuk melindungi pendidikan dalam negeri. Selain membatasi jumlah persentase modal asing, pemerintah Indonesia juga disarankan membuat kebijakan pembatasan lain yang bersifat mengurangi terjadinya persaingan bebas di bidang jasa pendidikan.
Pemerintah Indonesia harus mencegah agar liberalisasi jasa pendidikan tidak dilaksanakan dengan semangat free fight liberalism dan hanya untuk mencari keuntungan semata. Oleh karena itu penyelenggaraan layanan pendidikan tidak dapat begitu saja diserahkan kepada swasta dan swasta dibiarkan bersaing sesuai mekanisme pasar. Pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan harus didasarkan pada semangat kerja sama antar negara di bidang pendidikan, sehingga ada saluran transfer of knowledge and technology antar negara, khususnya dari negara maju ke negara sedang berkembang. Dengan demikian melalui liberalisasi jasa pendidikan diharapkan akan ada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia tanpa menyimpang dari tujuan pendidikan nasional Indonesia dan pendidikan tetap dipandang sebagai HAM yang dapat dinikmati oleh setiap warga negara Indonesia. Pemerintah dituntut berperan aktif dalam penyelenggaraan pendidikan, misalnya melalui pembuatan kebijakan yang kondusif untuk memajukan pendidikan nasional, penyediaan anggaran yang cukup, penyediaan bea siswa yang lebih besar bagi mereka yang berprestasi akademik tinggi dan bantuan pendidikan bagi mereka yang lemah secara ekonomis. q - s. (2837-2011).
*) Triyana Yohanes SH MHum, Staf Pengajar Fakultas Hukum
Universitas Atmajaya Yogyakarta.


Tags: