Pendidikan Nasional Masih Salah Orientasi

Pendidikan Nasional Masih Salah Orientasi

KUDUS (Suara Merdeka)– Karut-marut pendidikan nasional di Tanah Air saat ini disebabkan oleh kesalahan orientasi. Hal ini disampaikan oleh pengamat pendidikan Darmaningtyas dalam seminar "Melestarikan Nilai-nilai Budaya dalam Pendidikan" yang diselenggarakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muria Kudus (UMK). Menurutnya, berbagai problem mendasar kebijakan pendidikan nasional, di antaranya adalah arah kebijakan yang cenderung meninggalkan budaya bangsa dan terlalu akomodatif terhadap pengaruh asing (internasionlisasi sekolah). "Pendidikan mestinya merupakan proses produksi kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, gender, dan kultur. Bukan malah mengikuti pendidikan ala barat," katanya.

Berakar Dalam seminar yang dihadiri ratusan pelajar dan mahasiswa di Eks Karesidenan Pati itu, Darmaningtyas menyitir sebuah tesis yang pernah dikemukakan Ki Hajar Dewantara. "Pendidikan harus berakar pada kebudayaan, yaitu dalam garis-garis adab kemanusiaan seperti terkandung dalam pelajaran agama. Karena itu, pendidikan dan pengajaran nasional (harus) bersendi pada agama dan kebudayaan bangsa, serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat," ungkapnya.

Dalam seminar itu, dia mengingatkan bahwa untuk menumbuhkan karakter, bisa dengan membaca berbagai buku. Budayawan Ahmad Tohari menekankan untuk mengingat tiga orientasi pendidikan tradisional Indonesia masa dulu, yakni berorientasi keselamatan, menghargai proses, dan memosisikan keluarga sebagai basis pendidikan. "Pendidikan di Indonesia berbeda dengan orientasi pendidikan di Barat, yang hanya ingin menang dalam persaingan, humanis-universal dan cenderung liberalistik," tuturnya.

Dia mengemukakan, pendidikan tradisional di Tanah Air itu menghargai proses dan menempatkan keluarga dalam posisi sentral dalam pembelajaran. "Pendidikan karakter bisa diinternalisasikan di sanubari generasi bangsa. Kalau tidak, maka bisa menjadi malapetaka pendidikan," ujarnya. (H76-37)


Tags: