Penelitian Dosen PTKIN; Para Suami Masih Mengesampingkan Aspek Kesalingan dalam Berhubungan

Penelitian Dosen PTKIN; Para Suami Masih Mengesampingkan Aspek Kesalingan dalam Berhubungan

Jakarta (Pendis) – Hasil penelitan dosen Perguruan Tinggi dan Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) menunjukan bahwa para suami masih mengesampingkan aspek kesalingan dalam berhubungan seks. Pernyataan ini hasil kesimpulan pemaparan dosen PTKIN dalam Tadarus Litapdimas seri keempat.

Tadarus Litapdimas seri keempat yang dilaksanakan oleh Direktorat PTKI Kementerian Agama, Selasa (05/05/2020) mengambil tema unik “Bukalah Mata Pada Perempuan: Daulat Tubuh dan Tahta”. Kali ini dua peneliti terbaik tingkat nasional pada BCRR (Biannual Conference on Research Result) Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI Tahun 2019 Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung Irma Riyani, dan Dosen IAIN Kudus Nur Said menyampaikan hasil penelitian mereka.

Irma menyampaikan presentasinya bertajuk “Islam dan Seksualitas Perempuan di Indonesia”. Ia memulai paparan dengan kutipan Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 187 yang beriringan dengan perintah puasa. “Al-Quran memberikan arahan tentang relasi seksual dalam pernikahan yang didasarkan pada mutualitas (kesalingan),” katanya.

Namun hasil penelitian yang dilakukannya berkaitan dengan seksualitas perempuan menikah di Bandung menunjukkan bahwa pada praktiknya, aspek kesalingan ini dalam beberapa hal diabaikan oleh para suami.

Dikatakannya, kebanyakan perempuan menganggap bahwa seks dalam pernikahan adalah kewajibannya dan hak suami harus selalu bersedia dan tidak menolak. Kondisi ini dijustifikasi oleh teks-teks agama budaya dan budaya setempat yang misalnya menyebutkan bahwa menolak ajakan suami sebagai pamali dan dosa.

“Perempuan sulit untuk mengekspresikan keinginan seksualnya, apa yang disukai. Teks-teks agama banyak mempengaruhi subordinasi seksualitas perempuan atas seksualitas laki-laki didapat dari sumber kedua (hadis laknat malaikat); bukan teks utama (Al-Quran) Surat Al-Baqarah ayat 187," sambungnya.

Penelitian Irma juga menemukan ada perempuan yang mampu menyuarakan haknya untuk menikmati relasi seksual dalam pernikahan (sexual agency). Akan tetapi  tidak banyak perempuan yang bersuara.

Dalam kegiatan tadarus hasil penelitian di lingkungan perguruan tinggi Islam itu, Nur Said, menyampaikan hasil penelitiannya dengan tema sejenis. Presentasinya bertajuk “Ratu Kejayaan Maritim Nusantara: Relasi Kuasa Ratu Kalinyamat di Tengah HegemonI Lelaki dalam Masyarakat Pesisir”.

Nur Said mengungkapkan, budaya asli Nusantara adalah matriarki Polinesia. Rezim kolonial Hindia-Belanda (1816-1942) dan dinamika tafsir keberagamaan yang bias gender telah melenyapkan budaya asli Nusantara ini sehingga yang terjadi kemudian perempuan diobyekkan, sebagai ‘konco wingking’ (teman ranjang) atau domestic sphere.

Menurut Nur Said, perlu suatu sejarah baru perempuan di Indonesia yang ditulis dengan narasi tanding (counter culture) untuk membebaskan cengkeraman patriarki kolonial Belanda dan ancaman pandangan picik kaum fundamentalis itu.  Hal ini bisa diawal dengan menampilkan kiprah para tokok perempuan sebelum era kolonial.

Tokoh perempuan bersejarah yang menjadi pusat perhatiannya adalah Ratu Kalinyamat yang memiliki nama asli Retna Kencana, trah Kesultanan Demak dalam dunia maritim di Nusantara. Jauh sebelum Kartini, di tengah hegemoni lelaki di era kewalian pada abad ke-16, Kalinyamat tak terkungkung dalam ruang domestik, tetapi justru mendapatkan kepercayaan untuk mengantarkan Jepara tumbuh sebagai pusat bandar niaga internasional yang lebih masif.

“Telaah relasi paradigmatik memberi pesan bahwa generasi penerus Ratu Kalinyamat yang kuat, tangguh, kaya raya dan penakluk samudra memiliki kesinambungan budaya sebagai kerajaan maritim dan hal itu sebuah keniscayaan dimana kaum perempuan harus ikut mengambil peran, sebagai aktor dan agen perubahan,” ujar Nur Said.

Sementara itu Abdur Rozaki, akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang menjadi pembahas dua penelitian tersebut menekankan perlunya mendorong posisi perempuan Indonesia agar semakin memiliki peran strategis dan ikut menentukan arah masa depan bangsa dan masa depan kemanusiaan. Dikatakan, upaya itu tentu tidak mudah, karena masih banyak belenggu yang menghadangnya, khususnya cara pandang patriarkisme yang masih menyelinap masuk ke dalam kesadaran keagamaan dan konstruksi budaya lainnya di dalam masyarakat.

Tadarus sesi keempat kali ini dipandu langsung oleh Mahrus Elmawa, Kepala Seksi Penelitian pada Direktorat PTKI Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama. Tadarus yang berlangsung jarak jauh memanfaatkan aplikasi zoom ini diikuti 500-an peserta dari seluruh Indonesia. Ratusan peserta lainnya mengakses secara langsung kegiatan ini melalui akun youtube Pendis Channel. Antusias peserta ditunjukkan dari banyaknya respon via chat zoom dan komentar di youtube. (Anam/M Yani)


Tags: