Publikasi Skripsi A Lebih Rasional ===> Oleh : Subhan Afifi

Publikasi Skripsi A Lebih Rasional ===> Oleh : Subhan Afifi

Yogya (KR) Kebijakan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) yang akan mewajibkan calon lulusan S1 (selain lulusan S2, dan S3) untuk publikasi ilmiah terus mendapat kritik dan tentangan. Berbagai pihak menyatakan menolak kebijakan tersebut dengan beragam alasan. Adakah solusi yang menjadi jalan tengah dari debat publik itu? Publikasi skripsi yang mendapat nilai A bisa dipertimbangkan dan lebih rasional untuk dijadikan kebijakan resmi perguruan tinggi.
Ketika merintis pengelolaan "Jurnal Ilmu Komunikasi" pada tahun 2003 (dan kemudian terakreditasi Dirjen Dikti), penulis dan kawan-kawan pengelola pernah merasa kesulitan mendapatkan artikel ilmiah. Jangankan dari mahasiswa S1, dari para dosen maupun peneliti saja, artikel ilmiah itu sulit diperoleh. Padahal jurnal itu harus terbit teratur. Kemudian muncul ide untuk mendapatkan artikel dengan cara yang mudah dan sah, yaitu bersumber dari skripsi sekian banyak yang tertumpuk begitu saja. Agar terasa manfaatnya, karya yang sudah dibuat bersusah payah itu dipublikasikan. Diambillah kebijakan program studi untuk mewajibkan skripsi bernilai A dipublikasikan di jurnal kami.
Skripsi bernilai A telah melalui serangkaian proses yang tidak mudah. Sidang ujian skripsi yang melibatkan 3 hingga 5 orang penguji biasanya mempertimbangkan berbagai aspek ilmiah untuk memberikan nilai A. Jadi sangat layak untuk dipublikasikan secara luas. Walaupun pemberian nilai bisa menjadi sangat relatif. Tetapi paling tidak, standar minimal bisa terpenuhi. Kemungkinan untuk dimuat jurnal, setelah diformat dalam bentuk artikel ilmiah, menjadi lebih besar. Para pengelola jurnal pun tidak terlalu kesulitan, jika melakukan penyuntingan. Berbeda halnya, jika seluruh skripsi (termasuk yang bernilai B atau C) diwajibkan untuk dipublikasikan. Terlalu banyak naskah yang masuk, dan belum tentu dimuat. Apalagi kualitasnya tentu saja relatif berada di bawah yang bernilai A. Setelah kebijakan itu, Jurnal ilmiah kami bisa terbit secara teratur, dan mulai dikenal secara luas. Artikel lain dari kalangan dosen/ peneliti juga mulai mengalir masuk. Hingga akhirnya, "Jurnal Ilmu Komunikasi" memperoleh status terakreditasi dari Dirjen Dikti, dan bertahan hingga kini.
Kini, di tengah perdebatan tentang wajib publikasi jurnal ilmiah bagi mahasiswa S1, ide untuk mewajibkan publikasi skripsi bernilai A, menjadi lebih rasional. Hal ini bisa menjadi semacam langkah transisi, sebelum kebijakan publikasi ilmiah bagi mahasiswa S1, benar-benar diterapkan. Setelah dinyatakan lulus ujian skripsi, mahasiswa yang bernilai A diharuskan untuk membuat versi artikel ilmiahnya dan mengirimkannya ke pengelola jurnal ilmiah sesuai bidang ilmu. Mahasiswa hanya perlu melampirkan surat penerimaan pengelola jurnal, sebagai salah satu syarat mengikuti wisuda. Bisa juga sebelum mengikuti ujian skripsi, mahasiswa didorong oleh pembimbingnya untuk membuat artikel ilmiahnya, dan langsung dikirim ke pengelola jurnal. Langkah itu, bisa menjadi salah satu pertimbangan penguji untuk kemudian memberikan nilai A bagi skripsi yang seperti itu.
Alasan yang sering disebut-sebut melatarbelakangi kebijakan untuk mewajibkan mahasiswa S1 menulis di jurnal ilmiah, adalah masih sangat minimnya publikasi ilmiah dari perguruan tinggi. Masalah ini dapat teratasi (salah satunya) dari skripsi bernilai A. Dari sisi kuantitas jumlah skripsi bernilai A relatif tidak banyak, sehingga masih sangat memungkinkan untuk ditampung pada jurnal-jurnal yang telah terbit. Atau kalau pun, harus membuat jurnal baru maka prosesnya pun tetap memperhatikan standar kualitas. Tidak asal-asalan.
Kelak, jika budaya menulis dan meneliti semakin merebak di perguruan tinggi, termasuk di kalangan S1, dan keberadaan jurnal ilmiah semakin memadai, maka tak ada masalah tentu saja untuk menerapkan kewajiban publikasi ilmiah bagi seluruh mahasiswa. Minimal banyak pihak sudah tidak terkaget-kaget, seperti sekarang ini. q - c. (170-2012).
*) Dr Subhan Afifi MSi,
Ketua Penyunting "Indonesian Journal of Communication Studies" Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta.


Tags: