Rektor Perempuan Pertama UGM Bawa Perubahan Besar ke Era Ilmu Terapan

Rektor Perempuan Pertama UGM Bawa Perubahan Besar ke Era Ilmu Terapan

Yogyakarta- Rektor perempuan pertama sepanjang sejarah berdirinya Universitas Gadjah Mada, Prof Dwikorita Karnawati, masih terus memantau lokasi-lokasi rentan bahaya kejadian lonsor. Meski tugasnya mendadak menjadi berlipat ganda, ibu dua anak, Amilhur Priyanto dan Umayra Priyanto ini, tidak pernah terlihat letih.

Tugasnya sebagai Guru Besar Fakultas Geologi pun masih terus dilaksanakannya. Sementara itu, tugasnya sebagai rektor yang baru seumur jagung, terus membawanya kepada rutinitas yang jauh berbeda dari tugas-tugas awalnya.

Rita, panggilan akrab istri dari Prof Ir Sigit Priyanto MSc yang juga Guru Besar Fakultas Teknik Sipil ini pun tak sungkan-sungkan blusukan di tengah masyarakat yang sedang terlanda musibah. Ya, bencana alam adalah tantangan sekaligus sabahat bagi Rita. Ilmu yang diperolehnya dari Sarjana Geologi UGM hingga master dan doktoral di Negeri Ratu Elizabeth, Engineering Geology, Leeds University, Inggris tahun 1996 diaplikasikannya dengan jitu. Alat-alat pemantau gerakan tanah, arah longsoran hingga early warning system, sudah menyelamatkan jiwa-jiwa penduduk yang rentan tanah longsor.

Bahkan, sejak 2008, alat deteksi longsor buatan Rita dan timnya, sudah dipasang di 30 lokasi yang tersebar di Pulau Jawa dan luar Jawa. Beberapa wilayah di antaranya Kebumen, Karanganyar, Banjarnegara, Situbondo, dan Kulonprogo.

Beberapa industri juga memakainya, di antaranya PT Arutmin (Kalimantan), PT INCO Sorowako (Sulawesi Tenggara), dan PT United Mercury Myanmar (Myanmar), serta PT Pertamina Geothermal Energy.

"Alat ini sudah mendapatkan hak paten dan penghargaan internasional," ucap Rita.

Berkat kreativitas dan inovasi dalam bidang pengurangan risiko bencana ini pula, UGM masuk dalam tiga besar World Center of Excellence on Landslide Disaster Risk Reduction atau Pusat Unggulan Dunia untuk Pengurangan Risiko Bencana Longsor periode 2014-2017.

Banyak hal yang telah dilakukan Dwikorita yang mendapat pengakuan secara nasional dan internasional. Temuan atau ciptaannya bersama rekan-rekannya diaplikasikan dan banyak digunakan kalangan industri.

Rita menuturkan perubahan dalam pekerjaannya tentu akan terjadi. Kalau dulu hanya fokus pengelolaan kemitraan dan alumni, sejak dilantik menjadi Rektor UGM, dia harus bisa mengintegrasikan semua sektor dan unit. “Harus bisa menjadi manajer,” ucap Rita.

Perempuan kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1964 ini pun menyadari bahwa sistem kerja yang harus diterapkanya sangatlah berbeda dari tugas-tugas sebelumnya. “Lebih memandang dari sudut pandang "helikopter". Tidak lagi fokus pada satu bidang, tapi lintas sektor,” ucapnya bersemangat.

Selain itu, beberapa poin lainnya yang tertera dalam kontrak antara lain, keharusan Rita melanjutkan program yang selama dua setengah tahun ini telah dirancang Prof Pratikno, kelangsungan studi bagi mahasiswa kurang mampu, keterbukaan tiap program studi terkait penetapan besaran biaya kuliah bagi mahasiswa, serta pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi.

Perempuan bergelar lengakap Prof Ir Dwikorita Karnawati MSc PhD ini sempat bercerita bahwa saat masih asyik dengan dunia penelitian di San Diego State University tahun 2012, dirinya dipanggil pulang dan terus dilantik jadi Wakil Rektor. Sebenarnya dirinya masih ingin melanjutkan risetnya di Negeri Paman Sam itu, karena disanalah Rita menemukan betapa "nyamannya" menjadi peneliti. Dalam program di bawah Kementerian Luar Negeri AS itu, Rita mendapatkan pelatihan riset, jejering, dan fasilitas yang sangat mumpuni.

“Programnya, master in homeland security yang sebenarnya untuk para veteran perang. Di sana saya berbagi ilmu dengan doden-dosen dari CIA, FBI, NAVI. Semangatnya, bagaimana mereka me-manage kebencanaan, dan data base mereka lebih komplit dan mereka tahu semua data tentang Indonesia, bahkan data ketersediaan listrik di Indonesia. Nah, sepertinya sudah tidak ada lagi rahasia negara kita,” seloroh Rita.

Karena itulah, Rita sesungguhya sudah merancang pendidikan anaknya di Negeri Paman Sam bersamaan dengan dirinya. Namun, karena tugas menanti di Tanah Air, Rita lantas membatalkan rencananya, dan sepertinya dia tetap membatalkannya, karena tugasnya bertambah.

Sebagai pakar geologi yang akrab dengan kebencanaan, Rita punya satu pendekatan yang berbeda. Meski mengaku sebagai orang teknik yang cenderung kaku, rupanya Rita tidak mau terperangkap dalam kesan itu. Karena itulah Rita sudah lama merancang pendekatan yang berbeda.

Apakah itu?

Prof DK :

Upaya pengurangan risiko bencana gerakan tanah merupakan permasalahan yang kompleks. Tidak hanya bisa dikontrol oleh kondisi geologi saja, tetapi juga oleh berbagai permasalahan lainnya.

Seperti masalah sosial, psikologi, ekonomi, hukum, dan lingkungan. Berbagai upaya teknik untuk pengendalian dan pencegahan gerakan tanah menjadi tidak efektif dan berkelanjutan jika masyarakat setempat tidak turut memahami permasalahan ini. Terlebih bila masyarakat tidak peduli terhadap teknologi atau upaya pencegahan dan pengendaliannya. Tantangannya adalah membuat masyarakat peduli dan termotivasi untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai upaya mitigasi gerakan tanah.

Apakah metode atau konsep penelitian geologi masih kurang dalam kebencanaan?

Prof DK :

Kurang, karena itulah kami mengembangkan konsep baru. Terintegrasi, di program studi geologi tidak ada ini, kita kembangkan konsep baru, geologi dengan ilmu sosial. Makanyanya ke depan UGM membutuhkan sistem yang baru atau bahkan disiplin ilmu baru yang muncul dari integrasi keilmuan. Permasalahan sekarang sudah beda dengan dulu. Mono disiplin tidak masalah, tetapi karena populasi makin besar, alam makin sengsara, dibutuhkan keilmuan yang lebih kompleks.

Seiring dengan pertumbuhan teknologi informasi yang makin pesat, kami segera mengembangkan social enginering. Kembangan teknologi yang diperkuat dengan rekayasa sosial.

Kami butuh redesain kurikulum. Memang harus ada kurikulum inti, tetapi akan ada mata kuliah pilihan ekonomi, budaya dan sosial di dalam fakultas teknik.

Mengapa tersentuh untuk mewujudkan multi kurikulum?

Prof DK :

Starting from the end, mulai dari kata "humanis", keilmuan harus bisa berkontribusi mengatasi masalah bangsa dan dunia, misalnya pangan, sosial dan konflik, dari hunamisme, melahirkan riset-riset interdisipin.

Mata kuliah, harus ada nuansa interdisiplin, untuk start menjadi humanis. Mono disiplin telah melahirkan manusia ego. Kita akan memberi obat buat itu.

Dari mana titik awal pemikiran tersebut?

Prof DK :

Terus terang saya belajar dari wartawan. Bagaimana mereka berkomunikasi. Saya seorang akademisi apalagi teknik, saya ini orang kaku. Makanya saya banyak belajar dari cara wartawan bertanya. Itulah yang saya pakai kalau bertanya kepada masyarakat.

Pancing dengan pertanyaan, itu cara jitu untuk mengukur cara pandang masyarakat. Cara mendidik lebih baik tidak bergaya menggurui. Itu yang mempengaruhi cara saya mengajar.

Redesain kurikulum akan mulai tahun depan. Kurikulum inti ada tapi ada kuliah elektif yang mewadahi intra-disiplin. Saya kita, awalnya, akan kita terapkan pada program pasca sarjana, misalnya mitigasi bencana. Program itu, di teknik ada, di geologi ada, dan geografi juga ada. Mengapa tidak kita gabung dan nanti akan ada ilmu baru.

Bagaiman dengan dunia riset di Indonesia?

Prof DK :

Salah satu kebijakan yang diambil UGM adalah melakukan reorientasi akademik dari sebelumnya berorientasi riset menuju Socio-Entrepeneur University. Saat ini kita melakukan reorientasi, mendidik mahasiswa menjadi socio-entrepreneur yakni menjadikan mahasiswa inovator yang siap menghadapi segala macam tantangan.

Permasalahan, daya saing bangsa jelas merupakan masalah utama dalam memasuki era global apalagi tahun 2015 ini kita akan memasuki era pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Rendahnya tingkat daya saing kualitas SDM Indonesia menjadi tugas berat bagi dunia pendidikan tinggi.

Karena itulah daya saing bangsa harus ditingkatkan dengan melakukan perubahan paradigma pendidikan. Produk riset unggulan harus dihilirkan ke masyarakat dan kalangan industri.

Sekarang tinggal bagaimana niat baik dari pemerintah untuk menghantarkan hasil temuan-temuan anak negeri ini menjadi pilar majunya riset dan teknologi di Tanah Air.

Bagus juga kalau pemerintah membuat regulasi, dimulai dari BUMN untuk memberikan porsi pengeluarannya kepada perguruan tinggi. Bisa dengan pembiayaan penelitian sekaligus insentif bagi peneliti yang ‘digunakan’. Selanjutnya, produksi.

Suara Pembaruan

Penulis: Fuska Sani/PCN

Sumber:Suara Pembaruan


Tags: