Revitalisasi Fungsi UN dan Tantangannya

Revitalisasi Fungsi UN dan Tantangannya

Yogya (KR)REVITALISASI fungsi Ujian Nasional (UN) oleh Mendikbud Anies Baswedan merupakan langkah progresif.
Pasalnya, mulai tahun 2015, UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan siswa, namun hanya digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan.

Pemetaan itu menyangkut kompetensi siswa, sekolah, hingga pemerintah daerah agar dapat dievaluasi secara menyeluruh (KR, 2/1). Pertanyaannya adalah apa tantangan terbesar adanya revitalisasi tersebut ? Sejak nilai UN diberlakukan menjadi syarat utama kelulusan siswa, telah membawa dampak kecemasan yang luar biasa terutama bagi para guru, siswa, dan orangtua. Alhasil kecurangan-kecurangan pun tidak dapat terelakkan demi lulus UN. Dari jual-beli kunci jawaban, adanya kebocoran soal ujian, bahkan di Depok, Bekasi, Medan, Madiun, Jambi, Maluku Utara dan Bima terdapat indikasi tim sukses UN dari pihak sekolah memberikan kunci jawaban kepada para siswa sebelum ujian berlangsung. Maka, dengan tidak lagi menjadikan UN sebagai syarat kelulusan persoalan tersebut harapannya dapat teratasi.

Terlebih, hasil UN selama ini sedang terjadi ketidaklogisan. Dapat dikatakan tidak logis karena Anis Baswedan sendiri mengatakan, selama 12 tahun dari tahun 2000 hingga 2012 mengalami stagnan. Sebab, di Indonesia masih terdapat 75 persen sekolah tidak memenuhi standar minimal pendidikan. Ditambah, nilai uji kompetensi guru hanya 44,5 persen dari standar yang diharapkan 70 persen berdasarkan data organisasi Pemetaan Internasional. Faktanya sejak pemerintahan kabinetII (SBY -Boediono) tingkat kelulusan UN di jenjang SD, SMP, SMA/SMK, baik umum maupun kejuruan sebagian besar daerah selalu mencapai angka 100% (Hafid, 2013). Budaya lulus 100 persen seperti ini menegasikan bahwa hasil UN jelas tidak rasional.

Ketidaklogisan ini bakal terus terjadi karena ketidaklulusan UN suatu daerah dapat ditekan sampai minimal di bawah 10 persen dan target lulus 100 persen bisa diperoleh karena adanya upaya tim sukses sekolah yang tidak hanya dikoordinir oleh masing-masing kepala sekolah tetapi juga oleh dinas pendidikan secara langsung dalam melakukan kecurangan yang sistematis (Zaini, 2010). Akibatnya, secara otomatis UN yang dimaksudkan sebagai salah satu bagian untuk memetakan standar mutu pendidikan sebagaimana diamanatkan Pasal 35 UU No 20/2003 tentang SPN sulit diwujudkan. Untuk menguraikan peliknya masalah tersebut terobosan yang ditawarkan Anies Baswedan sangat relevan untuk segera dilakukan. Namun, hal ini juga membawa konsekuensi bahwa ketika UN tidak lagi menjadi syarat kelulusan siswa tetapi penilaian sekolah lewat kewenangan guru sebagai ujung tombaknya, maka diharapkan guru harus siap menilai dengan objektif dan jujur sebagai komitmennya. Tentu saja, langkah ini harus didukung pihak dinas pendidikan baik dari kabupaten/ kota sampai provinsi dibawah pemilik otoritas tertinggi daerah yaitu para kepala daerah agar pemetaan mutu pendidikan dapat dilakukan oleh pusat secara objektif.

Meskipun revitalisasi fungsi UN dilakukan, menurut saya, disorientasi UN bakal terus terjadi apabila UN masih dipolitisasi oleh para kepala daerah. Hal ini juga selaras dengan apa yang telah ditegaskan oleh Bando (2009) bahwa kegagalan fungsi kebijakan UN selama ini karena dijadikan sebagai intrumen indikator kinerja demi nama baik/ prestice seorang kepala daerah bukan dimanfaatkan sebagai dasar evaluasi pebelajaran siswa. Alhasil, demi mempertahankan gengsi atas reputasi diri, sekolah, dan daerahnya maka UN akan selalu menjadi momok yang harus disiasati dengan kecurangan untuk pencitraan semata. Dengan demikian, jika masih terjadi praktik tersebut maka pemetaan mutu tidak dapat dilakukan dan perbaikan pun sulit diwujudkan. Sebab, UN masih difungsikan sebagai alat politisasi para kepala daerah, bukan untuk kepentingan evaluasi objektif kompetensi siswa,sekolah, hingga pemerintah daerah. Oleh sebab itu, para kepala daerah hendaknya tidak melakukan politisasi dan dengan lapang dada merelakan gengsi yang selama ini melekat. Itulah tantangan terbesarnya. (*)

Fajar Sidik SPd MPA

Asisten Peneliti di Magister Administrasi Publik Fisipol UGM.


Tags: