RSBI Mengarah ke Lahan Bisnis

RSBI Mengarah ke Lahan Bisnis

SEMARANG -Anggota DPRD Provinsi Jateng menyoroti mahalnya biaya studi di tempat belajar berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI).

Sebab, selama ini keberadaan RSBI menyimpang dari undang-undang. Pendidikan RSBI seharusnya diberikan kepada setiap masyarakat, tanpa memandang golongan, lapisan ataupun strata sosial.
Namun yang terjadi selama ini, siswa yang belajar di tempat studi RSBI adalah pelajar dari golongan keluarga kaya.
Sementara, siswa yang tergolong pandai dan berasal dari keluarga miskin kesulitan mengeluarkan biaya untuk menempuh studi di sekolah tersebut. Ketua Fraksi Demokrat DPRD Jateng Prajoko Haryanto mengimbau kepada pemerintah agar bisa segera melakukan peninjauan kembali terhadap sistem pendidikan tersebut. Terlebih lagi, alokasi anggaran yang diberikan pemerintah terhadap RSBI jauh melebihi rata-rata sekolah lainnya.

“Saya minta pemerintah harus kembali meluruskan tujuan utama pendidikan. Hal itu karena selama ini upaya yang dilakukan di bidang pendidikan cenderung mengarah ke lahan bisnis,” katanya, saat ditemui di kantornya, baru-baru ini. Hal serupa berkaitan dengan RSBI juga diungkapkan anggota DPRD Jateng Bambang Eko Purnomo. Menurut Bambang, alokasi APBN ataupun APBD untuk tempat studi RSBI sangat tinggi. Kenyataannya, sekolah tersebut memiliki kecenderungan menggali pendanaan dari orang tua siswa tanpa kontrol.

Kualitas Belum Menjamin

Pihaknya mencontohkan, dalam penerimaan peserta didik seperti saat ini, pihak sekolah selalu menyodorkan surat pernyataan tentang kesanggupan untuk menanggung biaya operasional pendidikan. Hal itu dinilainya sangat keterlaluan, karena biaya yang disetorkan ke sekolah berstatus RSBI itu sampai puluhan juta rupiah. Kondisi tersebut bukan hanya terjadi pada SMP RSBI, tapi juga SMA RSBI.

“Jumlah setoran yang harus ditanggung orang tua murid sering kali juga ditentukan sepihak oleh sekolah tanpa persetujuan mereka. Kondisi demikian secara tidak langsung menjadi momok bagi orang tua siswa dari kalangan miskin yang mempunyai kualifikasi akademik tinggi untuk melanjutkan studi ke RSBI,” ungkapnya. Padahal, sudah ada ketentuan baru, di mana setiap RSBI harus menyediakan kuota minimal 20% dari kalangan keluarga kurang mampu.
Bila yang menjadi landasan adalah kemampuan ekonomi, dia mengakui wajar jika kualitas RSBI tak berbeda dari sekolah lainnya.

Selain itu, tak mengherankan jika banyak masyarakat menyebut RSBI sebagai rintisan sekolah bertarif internasional.
Hal ini memang menjadi kenyataan, karena studi di RSBI yang mahal. Apalagi kualitas pun belum menjamin akan lebih baik. (J17,H23-75)


Tags: