Sekolah Kurang Murid

Sekolah Kurang Murid

Boyolali (Suara Merdeka), Ironi, membaca berita pada harian ini mengenai banyak sekolah negeri di Jateng
kekurangan pendaftar. Bahkan sebuah SMA negeri di Klaten diminati hanya oleh 17
lulusan SLTP. Keadaan itu hampir terjadi di semua kabupaten secara nasional.
Kondisi ini tentu sangat menyedihkan manakala kita melihat angka partisipasi kasar
(APK) sekolah menengah di Jateng masih di bawah rata-rata tingkat nasional.

Angka partisipasi kasar (APK) untuk sekolah menengah di Jawa Tengah pada tahun pelajaran 2011/ 2012 masih 69,61%. Itu artinya dari 1.000 lulusan SMP hanya 696 yang melanjutkan dan ada 30,39% siswa SLTP yang belum melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Melihat data ini mestinya tak perlu ada sekolah setingkat SMA kekurangan siswa.

Ada beberapa alasan mengapa angka partisipasi kasar kita masih rendah (APK) kendati pemerintah telah menggulirkan program Wajib Belajar (Wajar) 9 Tahun bagi SD dan SMP serta Pendidikan Menengah Universal bagi SMA/ SMK/ MA

Pertama; ada sebagian lulusan SMP/ MTs yang melanjutkan ke pondok pesantren. Angka lulusan SMP/ MTs yang melanjutkan ke pondok pesantren yang tidak memiliki jalur pendidikan formal seperti SMA/ SMK/ MA masih tergolong besar, apalagi untuk daerah santri. Ke depan perlu difasilitasi dan didorong agar anak-anak yang memilih jalur pendidikan seperti ponpes juga dengan mudah mengakses pendidikan formal ataupun nonformal seperti Paket B atau C.

Kedua; faktor biaya. Pemerintah telah menggulirkan dana bantuan operasional sekolah menengah atau BOSM sebesar Rp 1 juta/ tahun/ siswa. Bantuan itu diberikan kepada sekolah penyelenggara pendidikan agar sekolah membebaskan iuran bulanan atau memberikan keringanan kepada siswa yang kurang mampu.

Lembaga Sosial

Pemerintah juga memberikan bantuan siswa miskin yang rencananya Rp 1 juta per tahun. Bantuan siswa miskin ini digunakan sepenuhnya untuk keperluan biaya pribadi peserta didik, seperti transportasi, serta membeli buku dan alat tulis. Meski bantuan pemerintah cukup besar, banyak orang tua masih beranggapan biaya pendidikan kita masih tinggi.

Biaya seragam, pengembangan, buku atau LKS masih menghantui sebagian orang tua siswa. Program sekolah ramah sosial yang sering didengang-dengungkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jateng masih belum terwujud dengan baik.

Ketiga; ada orang tua yang beranggapan melanjutkan pendidikan tidak memberikan nilai tambah, khususnya secara ekonomi. Anggapan seperti ini ada pada daerah wirausaha, petani dan sebagainya. Anak-anak di daerah Dieng menganggap lulus SMA atau SMP akhirnya sama saja menjadi pe­tani kentang. De­mikian pula anak SMP di Slogohimo. Bagi lulusan SMP/ MTs di Slogohimo Wonogiri misalnya, lulus SMP berarti merantau untuk berjualan jamu atau bakso.

Ini tantangan besar bagi pengelola pendidikan khususnya di SMA/ SMK/ MA. Bagi sebagian orang tua percuma saja melanjutkan pendidikan manakala mereka tidak mendapatkan keuntungan secara ekonomi.

Pemerintah dan guru mungkin bisa berteori segala macam tentang manfaat pendidikan bagi masa depan, tetapi bagi sebagian orang tua tidaklah demikian.

Karena itu, fenomena sekolah kekurangan murid di tengah masih rendahnya APK harus menjadi autokritik bagi pengelola pendidikan.

Sekolah harus me­ya­kinkan melalui program-program nyata ke­pada orang tua bahwa mana­kala melanjut­kan sekolah, putra putri me­reka akan memperoleh nilai tambah.

Anak-anak itu tetap akan jadi anak-anak yang mau membantu pekerjaan orang tua di rumah. Di sisi lain sekolah harus kembali ke khitah sebagai lembaga sosial yang berfungsi mencerdaskan anak bangsa. Bila sudah ada Wajar 9 Tahun, atau Pendidikan Me­nengah Universal, tetapi masih banyak anak belum sekolah maka saatnya kita introspeksi. (10)

— Khaerul Anwar, guru Matema­tika SMA 1 Karanggede Kabupaten Boyolali


Tags: