Selamatkan Dana Pendidikan

Selamatkan Dana Pendidikan

Pendidikan merupakan faktor penting dalam ikhtiar mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa. Berbagai kajian maupun penelitian menunjukkan keterkaitan positif antara pendidikan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM), pengentasan kemiskinan, serta peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Kesimpulan yang diperoleh pun menyatakan bahwa prioritas membangun sektor pendidikan adalah keniscayaan di negara-negara maju.

Jepang, contohnya, membangun visi kebangkitannya di atas fondasi pendidikan setelah negeri matahari terbit itu terpuruk pascaperang dunia melawan tentara sekutu. Kini, Jepang menjadi salah satu negara maju dunia karena meletakkan pendidikan sebagai kunci utama dalam tumpuan pembangunannya.

Sebagai bangsa besar, founding fathers kita pun telah menyadari hal ini ketika menyusun dasar negara Indonesia. Frase "mencerdaskan kehidupan bangsa" sengaja diletakkan dalam Pembukaan UUD sebagai wujud kesadaran yang menentukan arah pembangunan bangsa ke depan. Sebab, masyarakat yang cerdas dan berpendidikan adalah bahan baku utama kemajuan peradaban sebuah bangsa, sehingga kelak dapat ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Lebih dari setengah abad pascakemerdekaan, ternyata pendidikan belum menjadi aspek penting dan strategis bagi negara. Hal ini dapat dilihat dari minimnya alokasi dana untuk bidang pendidikan oleh pemerintah. Anggaran pendidikan tidak pernah menyentuh angka lebih dari 10% dari jumlah anggaran belanja negara.

Melalui amandemen UUD keempat pada 2002, konstitusi akhirnya mengamanatkan pemerintah agar memprioritaskan pendidikan dengan mengalokasikan 20% dana belanja pemerintah dalam APBN. Dibutuhkan waktu lima tahun (sejak APBN 2007) bagi pemerintah untuk mampu mengalokasikan jumlah tersebut.

Dalam tiga tahun terakhir, pemerintah memang telah mengalokasikan sekurangnya 20% dari total anggaran belanja publik untuk sektor pendidikan. Namun, besar anggaran yang signifikan tersebut ternyata masih belum mampu menyelesaikan sejumlah persoalan terkait pendidikan.

Problema besar pendidikan tersebut, antara lain terkait rendahnya partisipasi sekolah dan kualitas pendidikan. Partisipasi sekolah dan pendidikan gratis (UUD maupun UU Sisdiknas) menyatakan bahwa "warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar") masih jauh dari target pencapaian. Pada 2008 angka partisipasi murni (APM) tingkat SD baru mencapai 95,1%, dan APM tingkat SMP masih jauh dari 100%. Sementara rendahnya kualitas pendidikan dapat dilihat dari perbandingan capaian nilai siswa (hingga Indeks Pembangunan Manusia/IPM) dibandingkan negara lain.

Dengan kata lain, dana pendidikan minimal 20% tersebut tidak menyentuh sasaran yang diharapkan. Sehingga, muncul pertanyaan, apa yang terjadi dengan anggaran pendidikan 20%?

Pertama, paradigma target 20%. Agar tidak disebut melanggar UUD, pemerintah dengan berbagai cara menyusun anggaran pendidikan hingga mencapai angka 20%. Perencanaan pemerintah lebih berbasis keterpenuhan fiskal, alih-alih didasarkan kepada kebutuhan ataupun visi ke depan. Cara ini berdampak pada alokasi yang tidak tepat serta berpotensi memunculkan persoalan-persoalan baru pada proses implementasi maupun pemantauan dan pengawasan.

Anggaran 20% diakumulasikan dari 16 Kementerian/Lembaga (K/L) berdasarkan fungsi pendidikan yang ada di setiap K/L tersebut. Pada 2010, besar anggaran pendidikan mencapai Rp 225,2 triliun (sumber: APBN-P 2010). Pemerintah pusat mengelola 43% dana pendidikan atau (Rp 96,5 triliun). Dari jumlah tersebut, Kemendiknas mengelola 65% dana (Rp 62,4 triliun), Kemenag 27% (Rp 26,3 triliun), dan selebihnya 8% (Rp 7,8 triliun) tersebar di 14 K/L lainnya. Sisa sebesar 57%(Rp 127,8 triliun) ditransfer ke daerah, termasuk komponen dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU), dan dana alokasi khusus (DAK) pendidikan.

Kedua, paradigma wajib belajar. Misalnya, konstitusi mewajibkan warga negara berusia 7-15 tahun agar mengikuti pendidikan dasar. Implikasi amanat ini, negara (baca: pemerintah) wajib menyediakan pendidikan dasar (bermutu) agar warga negara berusia 7-15 tahun dapat "melaksanakan kewajibannya" mengikuti pendidikan dasar. Dhus, pemerintah berdosa jika warga negara tidak mendapatkan haknya memperoleh pendidikan sebagaimana telah dicanangkan.

Dengan demikian, semua siswa (tanpa memandang status) sudah seharusnya dibebaskan dari biaya pada tingkat pendidikan dasar. Bahkan, pemerintah perlu memperhatikan biaya personal untuk masyarakat miskin agar tidak hanya bisa menyediakan sekolah bebas biaya, namun juga bisa mengantarkan siswa miskin menikmati pendidikan di sekolah tersebut dengan baik.

Namun, pemerintah justru masih belum memprioritaskan pendidikan dasar ini. Postur anggaran pendidikan Kemendiknas tahun 2011 (sebesar Rp 50,3 triliun) memperlihatkan lebih dari setengah (51,9%) akan dialokasikan untuk pendidikan tinggi. Dua kali lipat dari anggaran program pendidikan dasar (hanya 23% dari total anggaran).

Secara umum, pemerintah lebih bertindak sebagai supporter yang membantu warga negara semampunya. Belum ada upaya tegas dari pemerintah untuk menempatkan kewajiban ini sebagai prioritas dibanding urusan-urusan lain. Rendahnya efektivitas alokasi belanja pendidikan terindikasi dari rendahnya belanja langsung, porsi-porsi belanja langsung skematik, dan lemahnya akuntabilitas anggaran yang disalurkan ke sekolah.

Ketiga, konsekuensi dari standar pendidikan. Biaya pendidikan adalah biaya dari suatu standar penyelenggaraan pendidikan yang ditetapkan pemerintah. Sistem pendidikan dan standar pelayanan yang menjadi acuan adalah Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP-SNP) serta peraturan penjabarannya berupa Permendiknas).

Karenanya, biaya pendidikan didefinisikan sebagai konsekuensi biaya yang harus ditanggung untuk menyediakan pendidikan dengan standar regulasi di atas. Cakupannya adalah standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan (sumber: PP-SNP).

Selama ini, standar yang ditetapkan oleh pemerintah masih sulit dicapai. Padahal, sekali lagi, dana dianggarkan berdasarkan analisis kebutuhan pemerintah yang ditargetkan untuk memenuhi standar tersebut. Oleh karena itu, wajar jika efektivitas kerja pemerintah untuk merealisasikan tujuan alokasi anggaran pendidikan 20%, dinilai rendah. ***

Oleh Hetifah Sjaifudian
Penulis adalah anggota Komisi X DPR/Fraksi Partai Golkar


Tags: