Soal UAMBN Harus Sesuai Dengan Tingkat Psikologis Murid

Soal UAMBN Harus Sesuai Dengan Tingkat Psikologis Murid

Jakarta (Pendis) - Soal-soal Ujian Akhir Madrasah Berstandar Nasional (UAMBN) yang telah dilaksanakan pada tahun-tahun sebelumnya, ada kecenderungan terdapat subjektifitas para pembuat soal. "Pembuatan soal tidak mengukur pada tingkat kemampuan, usia dan kondisi psikologis murid yang mengerjakan soal-soal ujian. Oleh karena itu, para pembuat soal wajib menyesuaikan antara kemampuan dan tingkat kesulitan soal. Soal-soal juga harus bisa mengembangkan aspek kognitif, afektif atau aspek psikomotorik murid," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Sesditjen Pendis), Moh. Isom Yusqi, ketika dimintai tanggapannya tentang pembuatan soal UAMBN untuk tahun 2018 yang akan datang, Kamis (19/10/2017) di Jakarta.

Subjektivitas para pembuat soal tersebut, lanjut Sesditjen Pendis, dipengaruhi oleh ego latar latar belakang tim penyusun soal yaitu para guru itu sendiri. "Soal-soal pada jaman sekarang, tingkat kesulitannya lebih tinggi daripada tahun-tahun 80-an. Hal ini dikarenakan para pembuat soal mayoritas telah bergelar master atau bahkan doktor. Kalau demikian rumit dan complicated soal-soal yang dibuat untuk usia anak madrasah maka dikhawatirkan akan mempengaruhi kondisi psikologis peserta didik," ungkap guru besar IAIN Ternate ini.

Terkait dengan soal-soal yang "high level", tentunya berkelindan juga dengan kurikulum dan metode pembelajaran yang diterapkan oleh para guru. "Pelajaran fiqh untuk murid kelas 4, 5 dan 6 sekarang sama dengan pelajaran fiqh untuk Tsanawiyah jaman dahulu. Bahkan acap kali para murid madrasah menerima pelajaran yang bersifat analisa dan juga komparatif, perbandingan antar madzhab, yang sebenarnya konsumsi mahasiswa. Ini yang harus dievaluasi," kata alumnus UIN Maulana Malik Ibrahim ini.

Terhadap metode pembelajaran yang sangat kognitif ini, Isom kembali menandaskan bahwa untuk tingkat psikologis murid madrasah sebaiknya pelajarannya banyak bersifat aplikatif. "Pelajaran lebih baik bersifat praktek dibandingkan dengan hafalan apalagi yang bersifat teoritis. Dalam belajar berwudlu misalnya, jangan hanya berdasar dan bersifat hafalan saja dengan hanya menyebutkan syarat dan rukunnya saja namun harus diikuti praktek riil. Pengetahuan kognitif itu lebih cepat menguap dibandingkan dengan model pembiasaan," kata alumnus salah satu pesantren di Malang-Jawa Timur ini.

Berkenaan dengan UAMBN yang akan diselenggarakan pada tahun 2018 mendatang, Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam ini menambahi bahwa pada UAMBN ini tidak berlaku bagi Madrasah Ibtidaiyah (MI) dikarenakan MI tidak ada ujian nasional melainkan Ujian Madrasah (UM). "UABMN untuk MTs adalah Akidah, Bahasa Arab, Fiqh, Qur`an Hadis dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Untuk MA jurusan Agama adalah Akhlaq, Bahasa Arab, Ilmu Kalam dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Sedangkan jurusan IPA-IPS adalah Akidah-Akhlaq, Bahasa Arab, Fiqh, Qur`an Hadis, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). (@viva_tnu/dod)


Tags: