Ujian Nasional Masih Problematis

Ujian Nasional Masih Problematis

YOGYA (KR) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Drs HA Hafidh Asrom MM mengemukakan, Ujian Nasional (UN) merupakan hal yang problematis. Di satu sisi, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri No 228/Pdt.G/2006/PN.JKT.PST, yang dikuatkan putusan Mahkamah Agung (MA), UN (sebagai standar kompetensi) hanya dapat dilaksanakan bila standar pendidikan nasional lainnya telah terpenuhi seperti standar isi, proses, sarana prasarana sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Namun pemerintah tetap menjalankan UN tanpa melakukan pemenuhan secara optimal terlebih dahulu Standar Nasional Pendidikan lainnya. Karena di berbagai daerah ditengarai terjadi kecurangan, manipulasi dan praktik-praktik yang mendistorsi makna evaluasi pendidikan itu sendiri.
“DPD RI khususnya Komite III terus menerus melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UN. Pengawasan juga dilakukan untuk menyerap aspirasi dari masyarakat sebagai dasar formulasi evaluasi hasil pendidikan untuk pengganti UN ke depan,î ujar Hafidh sebelum mengisi diskusi pendidikan di Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Yogyakarta, Selasa (10/4).
Sedangkan, menyangkut sertifikasi guru dan uji kompetensi awal (UKA) di DIY pihaknya menilai, secara umum sudah baik, meskipun masih ada persoalan teknis yang perlu mendapat penyelesaian pemerintah pusat. Persoalan tersebut, kata Hafidh, antara lain belum signifikannya guru yang lulus sertifikasi terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.
“Data Kemdikbud, guru yang layak mengajar di SD hanya 27 persen, SMP 58 persen dan SMA mencapai 65 persen serta SMK hanya 56 persen. Persoalan lain yaitu berubah-ubahnya peraturan tentang sertifikasi guru. Kondisi seperti ini membuat guru bingung,” kata Hafidh
Menurut anggota DPD ini, sertifikasi guru dengan mekanisme portofolio ditengarai berdampak terhadap manipulasi data. Uji kompetensi awal selain digugat argumentasinya, di beberapa daerah berujung pada kasus ‘kutipan uang’ oleh oknum aparat.
Mengenai masalah pemberdayaan guru, khususnya pengangkatan guru honorer, Hafidh mengemukakan, di beberapa daerah masih banyak guru honorer yang belum diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu, penghargaan terhadap profesi guru juga sangat tidak jelas. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 40 UU Sisdiknas yang menjamin hak-hak guru. Di sisi lain, terdapat kebutuhan ‘distribusi’ dan ‘kualitas’ guru yang tidak merata.
“Khusus di DIY misalnya, masih adanya insentif bagi guru tidak tetap (GTT) dan pegawai tidak tetap (PTT) yang jumlahnya masih jauh di bawah upah minimal regional (UMR), sehingga guru merasa diperlakukan pemerintah secara diskriminatif dan merasa tidak dihargai perannya sebagai seorang pendidik,” tegasnya.
Untuk mengurai masalah tersebut, kata Hafidh, DPD RI malakukan tindak lanjut dengan mengundang kementerian terkait agar terdapat kebijakan yang lebih komprehensif dari pemerintah pusat tentang masalah persoalan guru tersebut. (Cdr)-o


Tags: