Bogor (Pendis) - Kepala Biro Organisasi dan Tatalaksana (Ortala), Afrizal Zen, memberikan alternatif terkait ketentuan luas tanah untuk mendirikan PTK. Afrizal menjelaskan berdasarkan hasil rapat bersama Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, luas tanah yang dipersyaratkan untuk pendirian PTK bisa dibedakan antara PTK Islam dengan PTK agama lain.
"Pembedaan tersebut dilakukan atas pertimbangan jumlah mahasiswa, untuk PTK agama lain jumlah mahasiswa hanya sekitar 5000, sehingga tidak memerlukan lahan yang luas, maka bisa dikecualikan ketentuan luas lahannya," terang Afrizal ketika mengisi acara Rapat Penyusunan Regulasi PTKI 2 pada pada Rabu (31/07) di Bogor, Jawa Barat.
Di dalam RPMA tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran dan Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Keagamaan yang sedang dibahas, luas tanah minimal untuk pendirian PTKN yakni 25 hektar (universitas dan institut) dan 10 hektar (sekolah tinggi). Sementara untuk pendirian PTKS yakni 5 hektar (universitas), 3 hektar (institut), dan 1 hektar (sekolah tinggi).
Ketentuan mengenai luas tanah tersebut dinilai memberatkan terutama bagi PTK yang akan didirikan di wilayah perkotaan karena ketersediaan tanah yang terbatas serta harganya yang sangat mahal. Hal itu disadari oleh Kepala Bagian Organisasi, Kepegawaian dan Hukum, M. Munir. Menurutnya akan sangat sulit memenuhi ketentuan tersebut untuk wilayah Jakarta dan Bali.
"Ketentuan tersebut jelas sangat memberatkan terutama untuk wilayah Jakarta dan Bali karena harga tanah di sana sangat mahal dan terbatas, seharusnya jumlah lantai gedung juga ikut dihitung, jangan hanya mengacu pada luas tanah," usul Munir.
Sejalan dengan usulan tersebut, di beberapa kesempatan Menteri Agama lebih menekankan pada jumlah fungsi ketimbang luas bangunan. Dengan melihat kondisi tata ruang saat ini, maka PTK seharusnya tidak perlu lagi memiliki bangunan yang luas asalkan fungsi-fungsinya dapat dijalankan dengan baik.
Untuk mengubah ketentuan tersebut tidak dapat dilakukan serta merta karena persoalan terkait standardisasi harus mengikuti ketentuan yang dibuat Kemenristekdikti. Hal itu disampaikan oleh Kabag Perancangan Peraturan dan Keputusan Menteri pada Biro Hukum dan KLN, Imam Syaukani.
"Jika kita membuat standar yang lebih tinggi, itu boleh, tetapi jika standarnya lebih rendah itu tidak boleh karena Kemenristekdikti adalah pemegang otoritas menyangkut standardisasi," ungkapnya. (Nanang/dod)
Bagikan: