Jepara (Pendis) - Setidaknya ada 3 (tiga) ciri sebuah kitab disebut sebagai kitab kuning. Ketiga ciri itu ditandai dengan tulisan dan/atau bahasa, kesejarahan, dan kandungan. Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, ketika menutup rangkaian Musabaqah Qira`atil Kutub (MQK) Tingkat Nasional ke-6 Tahun 2017 di Pondok Pesantren Roudlatul Mubtadiin, Balekambang, Jepara, Jawa Tengah, (5/12/2017) mengatakan "Meski kitab ini ditulis oleh intelektual muslim abad pertengahan, namun ia tetap memiliki relevansi dan aktualitas untuk terus dikaji. Jika merujuk pada penelitian Martin Van Bruinessen, intelektual Belanda yang menggeluti kepesantrenan, setidaknya terdapat 3 (tiga) ciri kitab kuning itu. Pertama, kitab kuning itu menggunakan tulisan Arab, dan sebagian besar menggunakan bahasa Arab. Kedua, kitab kuning itu memiliki alam kesejarahannya yang amat panjang sebagai bagian dari kajian yang dilakukan oleh pondok pesantren. Ketiga, kandungan dan muatan kitab kuning itu mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan saling menghargai. Nilai-nilai moderatisme inilah yang dikandung di dalam kitab kuning".
Oleh karenanya, papar Kamaruddin Amin lebih lanjut, "Pesantren yang kuat dalam kajian kitab kuningnya itu cenderung memiliki pemahaman yang sangat toleran dalam sikap keagamaannya".
Lebih lanjut guru besar UIN Makassar ini menyatakan bahwa MQK merupakan wahana pengembangan kualitas akademis pondok pesantren. Kitab kuning sebagai core bussiness-nya pondok pesantren dijadikan dasar dan basis dalam berbagai majelis lomba yang diselenggarakan dalam even MQK ini. Dalam konteks itu, "MQK yang menjadikan kitab kuning sebagai basis perlombaannya sesungguhnya menghantarkan seluruh pondok pesantren untuk selalu istiqamah dalam mengembangkan dan mengajarkan pemahaman keagamaan yang moderat," ungkap alumni pondok pesantren As`adiyah Sengkang, Sulawesi Selatan. (Swd/dod)
Bagikan: