Jakarta (Pendis) - "Bersama komunitas pondok pesantren, kita perlu melakukan pembenahan dan standarisasi kurikulum pondok pesantren untuk mengantisipasi persoalan radikalisme yang terjadi di pondok pesantren," demikian papar Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, dalam kegiatan Review DIPA/RKA-KL Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD-Pontren) Tahun Anggaran 2017 di Jakarta, Senin (30/01/2017).
Dalam kegiatan yang dihadiri oleh Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam, Direktur PD-Pontren serta pejabat eselon III dan IV di lingkungan Direktorat PD-Pontren, Kamaruddin Amin menegaskan, "Persoalan radikalisme ini menjadi tantangan serius bagi kita semua. Untuk itu, kitab-kitab apa saja yang semestinya untuk diajarkan di pondok pesantren perlu untuk ditata dan dijadikan regulasi, sehingga masyarakat mendapat panduan dari pemerintah. Masyarakat perlu mendapatkan informasi yang cukup terkait hal ini. Demikian juga, treatment apa yang harus dilakukan oleh kita terhadap pesantren-pesantren agar tidak terjebak ke dalam radikalisme itu harus terwujud dalam program dan kegiatan yang dilakukan," demikian papar pria kelahiran Wajo, 5 Januari 1969.
Pada kesempatan yang sama, guru besar UIN Makassar ini menegaskan, "Selaku aparatur negara, setidaknya kita memiliki 3 (tiga) hal yang harus dilakukan kepada masyarakat, yakni regulasi, rekognisi dan fasilitasi. Ketiganya harus kita seriusi dan benahi". Regulasi harus dapat mencerminkan penataan dengan baik dan benar atas sistem pondok pesantren, termasuk di dalamnya kurikulum atau kitab-kitab yang diajarkan. Hirarki kitab berdasarkan jenjang perlu untuk dibenahi, demikian juga kitab-kitab apa saja, terutama kitab yang memiliki kesejarahan yang panjang dalam dunia pondok pesantren, perlu diperkuat. "Itu semua kewajiban bagi kita untuk melakukan penataan dengan baik," papar Dirjen Pendis.
Keseriusan dalam penataan kurikulum pesantren ini dipandang penting untuk dilakukan, mengingat sejumlah fenomena gerakan radikalisme itu telah memasuki ke dalam kitab-kitab yang diajarkan. Fenomena tahrif atau pemalsuan atas keaslian isi kitab yang disesuaikan dengan pemahaman kalangan radikalis juga telah dilakukan, termasuk melalui digitalisasi kitab dan upaya penerjemahan kitab. Untuk itu, perlu pencermatan dan ketelitian, baik di kalangan pondok pesantren maupun pemerintah. (swd/dod)
Bagikan: