Serpong (Pendis) - "Kita ini berada di lembaga pendidikan yang merupakan instrumen dalam menjalankan visi dan misi negara. Oleh karenanya, tidak boleh ada lembaga pendidikan yang bertentangan dengan ideologi negara," demikian papar Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Kamaruddin Amin, pada kegiatan "Peningkatan Kompetensi Pendidik dan Tenaga Kependidikan PAI pada PTU" yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam, di Serpong, 11-13 April 2017.
Menurut Kamaruddin, lembaga pendidikan itu tempat yang strategis dalam merawat sekaligus menginfiltrasi pemahaman, termasuk dalam hal agama. Oleh karenanya, pengarusutamaan moderasi pemahaman Islam di lingkungan lembaga pendidikan agar tidak ekstrim dan tidak menggunakan kekerasan mutlak dilakukan. Lembaga pendidikan di Indonesia harus mampu menghadapi penetrasi ideologi transnasional yang datang dari berbagai negara.
Menurut guru besar UIN Makassar itu, Islam selalu responsif dengan realitas. Ia mampu berdialog dan memberikan solusi atas kondisi sesuai ruang dan waktu (al-islam shalih likulli makan wa zaman). Dalam konteks responsibilitasnya, tentu Islam akan menjelma dalam artikulasi yang sangat variatif sehingga Islam di Indonesia itu beda dengan di Saudi. "Kita harus menjadi pembaca yang progresif, penerjemah yang cerdas, dan mampu mengartikulasi Islam secara tepat," papar alumni pesantren As`adiyah, Sengkang, Sulawesi Selatan.
Dalam konteks Indonesia, menurut pria kelahiran Wajo, 5 Januari 1969, negara Indonesia adalah negara yang religius, bukan negara agama juga bukan negara sekuler. Tingkah laku dalam bernegara direfleksikan dengan nilai-nilai agama sehingga tidak mungkin dipisahkan antara agama dan kebangsaan.Demikian juga, nilai-niai keislaman juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan kita. Dalam konteks pengajaran mata kuliah agama Islam, "agama bukan hanya mengajarkan tentang agama itu sendiri, tetapi juga bagaimana agama itu menjadi instrumen dalam meneguhkan kohesi sosial dan karakter kebangsaan kita".
Dirjen Pendidikan Islam menyatakan "Kita adalah orang Islam yang berwarganegara Indonesia sehingga artikulasi keislamannya harus sesuai dengan nilai keindonesiaan". Indonesia itu plural, ada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, Khonghucu, dan lain-lain. Oleh karenanya, kita harus menghargai pluralitas itu. "Menghargai orang lain merupakan ajaran Islam itu sendiri," paparnya lebih lanjut.
Pada bagian lain, doktor jebolan Rheinische Friedrich-Wilhelms-Universitat, Jerman, ini meyakini bahwa Indonesia akan menjadi kiblat pusat studi peradaban Islam dunia. Dibanding dengan belahan negara muslim lainnya, Indonesia memiliki infrastruktur sosial-politik dan keagamaan yang sangat produktif sehingga menjadi modal sosial yang sangat kuat sebagai destinasi pendidikan, dan modal ini tidak dimiliki oleh negara lain. (swd/dod)
Bagikan: