Cirebon (Pendis) - Di sela-sela Rapat Pimpinan (Rapim) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) di Cirebon (22 s/d 24 Januari 2018), peserta Rapim sebagian besar ikut ziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Kira-kira berjarak 3 km atau 20 menit dapat ditempuh dari tempat acara ke makam salah seorang Walisongo, penyebar Islam di Jawa pada abad ke-15/16. Acara ziarah ini tentu agenda di luar acara formal, sebut saja kultural. Akan tetapi, makna ziarah para pejabat dan staf di lingkungan Pendis ini mempunyai signifikansinya terkait dengan program visioner Pendis untuk menjadikan Indonesia sebagai destinasi pendidikan Islam di dunia.
Praktik ziarah pejabat Pendis ini sekaligus memberi konteks sosial intelektual, yaitu antara gagasan dan praktik harus sejalan dan tidak boleh parsial. Apa sebab? Bicara studi Islam di Indonesia, makam-makam orang suci, seperti Sunan Gunung Jati harus menjadi satu paket dalam kurikulumnya. Tradisi Ziarah kepada para Wali di dunia Islam merupakan hal yang lumrah. Seperti buku Ziarah dan Wali di Dunia Islam karya Henri Chanbert Loir (1995), kebetulan dalam buku itu Wali yang diambil salah satunya Sunan Gunung Jati. Artinya makam Sunan Gunung Jati sudah dikenal dunia melalui buku ini.
Dalam ziarah warga Pendis kali ini terasa istimewa karena dapat dzikir persis di depan pusara makam sang Sunan yang juga Raja atau Sultan di Cirebon. Bahkan, untuk rombongan Dirjen Pendis yang didampingi Rektor IAIN Syekh Nurjati Cirebon mengenakan seragam resmi dari peziarah keraton Cirebon, mulai dari blangkon, baju putih dan sarung batik khas Cirebon.
Oleh sebagian peziarah, doa dan dzikir dekat pusara Sunan Gunung Jati merupakan hal istimewa. Berbeda dengan saat ziarah ke makam para Walisongo lainnya. Selain peziarah dapat menyentuh makam sang Sunan, juga dapat membaca filosofi setiap tangga yang dilaluinya.
Ala kulli hal, ziarah ke makam Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah (1448-1568) di tengah Rapim Ditjen Pendis dengan tema "Perkuat Moderasi, Integrasi dan Destinasi Dunia Pendidikan Islam" merupakan salah satu bukti satunya ide dan tindakan. Dalam tawassul dan doa yang dipanjatkan sang kyai saat tahlil dengan menyebut beberapa tokoh ulama lokal, mulai dari Syekh Quro, Syekh Nurjati, Sunan Gunung Jati, hingga Nyi Mas Gandasari dan Panembahan Ratu, bukti bahwa dalam doa kita tetap mengingat para leluhur termasuk ulama perempuan yang sangat digdaya dan cerdas. Dalam doa pula terkandung maksud bahwa perjuangan untuk Islam di dunia ini masih terbentang luas dan kita tetap mempertahankan tradisi lama yang baik serta mengambil tradisi baru yang lebih baik lagi (Al-Muhafadhatu alal Qadimish Shalih wal Akhdz bil jadidil Ashlah). (MEM/dod)
Bagikan: