Manado (Pendis) - Sebagai forum tahunan bagi para peminat kajian ke-Islaman dan ke-Indonesiaan (Annual International Conference On Islamic Studies) AICIS ke-15 yang diselenggarakan di Manado resmi ditutup oleh Dirjen Pendidikan Islam Prof. Dr. Phil. Kamaruddin Amin, MA., Sabtu (05/09) malam.
Di awal sambutan penutupannya Kamaruddin Amin mengakui, bahwa AICIS merupakan Seminar yang susah untuk mencari tandingannya di jagat dunia dari partisipant yang hadir, karena diikuti oleh seluruh pimpinan perguruan tinggi islam negeri, mulai dari STAIN, IAIN, dan UIN yang berjumah 55, ratusan profesor doktor turut andil juga untuk mengisi event besar tersebut, sedangkan peserta yang hadir lebih dari seribu.
Dunia pendidikan Indonesia umumnya dan pendidikan Islam khususnya sedang dihadapkan pada tantangan yang luar biasa yaitu menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia (MEA). Dengan melihat kondisi Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi yang masih bercokol di angka 30% yang mempunyai arti bahwa dari 21 juta usia 19 sampai 24 tahun (usia mahasiswa) baru dapat diserap sekitar 6 juta orang di seluruh perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Angka itu masih di bawah negara Filipina dengan APK 35%, Malaysia 40% dan Thailand yang sudah mencapai 50% menjadi tantangan bagi Perguruan Tinggi untuk bisa berkontribusi lebih terhadap pembangunan Indonesia.
Selanjutnya Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar menuturkan bahwa National Competitive (Daya Saing) sebuah bangsa ditentukan oleh kualitas Perguruan Tingginya.
Menurut pengamat pendidikan dunia, bahwa pendidikan di Indonesia merupakan salah satu sistem pendidikan yang paling menantang di dunia dilihat dari size (ukuran), karakteristik Indonesia menghadirkan manajemen pendidikan yang sangat luar biasa. Dari ukuran itu bisa dikatakan besar karena dari 250 juta penduduk Indonesia ada sekitar 43 % anak usia sekolah (mulai dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi) atau jumlahnya sangat fantastis yakni mencapai 110 juta. "Angka sebesar itu bisa mengantarkan Indonesia memanfaatkan demografi yang ada, namun bisa menjadi musibah jika perguruan tinggi tidak mampu berkontribusi terhadap generasi yang akan datang" lanjut Kamaruddin.
Harapan disampaikan oleh Kamaruddin kepada perguruan tinggi untuk bisa menjadi produsen, bisa terkoneksi dengan realitas, terkoneksi dengan kebutuhan pasar, terkoneksi juga dengan masyarakat, sehingg kerjasama antara perguruan tinggi, pemerintah dan industri bisa duduk bersama untuk memajukan pendidikan indonesia di masa yang akan datang.
Khusus untuk pendidikan Islam terutama perguruan tinggi Islam yang bertransformasi menjadi Universitas dan menyelenggarakan prodi umum harus mempunyai pembeda atau kekhasan dengan perguruan tinggi umum. Untuk itu harus ada landasan fundamental, landasan fundamentalnya adalah konsep integrasi yang harus diterapkan dalam kurikulum perguruan tinggi.
Dalam kesempatan itu juga Dirjen Pendis memaparkan salah satu program unggulan perguruan tinggi yakni program 5000 doktor. Program 5000 doktor adalah program yang sangat mendesak untuk memenuhi tenaga doktor di perguruan tinggi agama Islam, karena tenaga dosen yang ada saat ini hanya 11% secara nasional atau baru sekitar 3000 doktor yang tersebar di Perguruan Tinggi Agama Islam.
Tahun ini ada 1.006 orang yang menerima Beasiswa Kementerian Agama RI. Mereka akan berangkat studi di universitas prestisius dalam negeri, dan sebagian lagi akan berdiaspora ke seluruh antero dunia. Di antara mereka ini yang akan melanjutkan studi ke Australia sebanyak 19 orang. Belanda ada 14 orang. Perancis 13 orang dan Inggris 7 orang. Sudan, Malaysia, dan Saudi Arabia masing-masing ada 6 orang. Memilih Jepang sebagai tujuan studi ada 4 orang. Kanada sebanyak 3 orang, Turki 2 orang, dan Jerman 1 orang, dan diharapkan pada tahun 2019 angka 5000 doktor bisa memenuhi untuk kebutuhan PTKIN.
Diakhir arahannya Kamaruddin berharap PTKIN harus bisa berkontribusi, merespon terhadap kebutuhan masyarakat, dan relevansi prodi yang ditawarkan bisa nyambung dengan kebutuhan masyarakat.
(ra/ra)
Bagikan: